Rabu, 17 Desember 2008

Sejarah dan Strategi Dakwah Syiah Di Indonesia




Oleh: Saleh Lapadi

Hal ini jugalah yang membuat Wahabi/Salafi tidak mampu mengembangkan pengaruhnya secara maksimal meskipun ditopang dengan biaya besar dan telah dikerahkan seluruh daya dan upaya untuk mengembangkan pengaruhnya di kalangan kaum muslimin. Kekakuan dalam beragama yang mereka terapkan tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Khawarij karena mereka membuat batasan yang kaku dan ekstrim dalam mendefinisikan kekufuran dan keimanan, dan ini tidak dapat diterima oleh banyak kalangan.

Kita sering mendengar pepatah yang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Sejarah adalah guru manusia. Sejarah memberikan data kepada kita untuk dapat melakukan evaluasi. Umat yang berhasil adalah umat yang senantiasa mengevaluasi apa-apa yang telah dilakukannya. Bila ada kekurangan akan diperbaiki dan bila berlebihan akan dikurangi sehingga terjadi keseimbangan. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah saw mewanti-wanti kita agar senantiasa mengevaluasi diri kita sebelum Allah melakukannya nanti. Karena ketika Allah yang menghitung amal perbuatan kita, tidak akan ada yang tertinggal karena perhitungannya akan sangat teliti.

Perkembangan Syiah di Indonesia juga dapat dianalisa dengan pendekatan sejarah. Sejarah telah mencatat sejumlah keberhasilan dan kegagalan umat Islam. Munculnya mazhab-mazhab dalam Islam dan kelompok-kelompok dalam sebuah mazhab merupakan pelajaran yang sangat berharga. Sebagian dari mazhab atau kelompok itu kemudian hanya dapat dikenang dalam buku-buku sejarah. Mengetahui sebab-sebab kegagalan dan kemusnahan mereka dapat membantu perkembangan Syiah di Indonesia agar tetap eksis.

Sebagaimana sejarah mencatat sejumlah mazhab dan kelompok yang lenyap ditelan zaman, sejarah juga mencatat mazhab-mazhab dan kelompok-kelompok yang masih tetap eksis. Salah satunya adalah Syiah Imamiyah, Syiah yang meyakini 12 imam. Perkembangan Syiah berhutang budi pada Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini ra. Namun, dalam perkembangannya, ternyata dalam usaha penyebaran Syiah Imamiyah banyak kendala menghadang.

Tulisan ini mencoba melihat beberapa kendala yang menghalangi perkembangan dakwah Syiah di Indonesia dengan pendekatan pengalaman sejarah, sekaligus memberikan solusi alternatif. Tentunya, apa yang disoroti hanya mencakup beberapa hal yang dianggap penting oleh penulis.

1. Mudah dan Sederhana

Islam merupakan agama yang paling cepat tersebar di dunia. Salah satu penyebabnya adalah karena dari sisi pemikiran, Islam dapat diterima dan dipahami oleh semuah orang. Islam dianggap tidak kompleks dan sulit dari sisi pemikiran. Untuk memahamkan agama Islam kepada orang lain, tidak diperlukan sebuah usaha luar biasa. Itu dikarenakan Islam dapat dipahami oleh semua dengan mudah.

Pada saat yang sama, disiplin sejarah agama dan sejarah peradaban meyakini bahwa dalam perubahan sejarah, hal terpenting dan tersulit dilakukan adalah mengubah mazhab dan atau agama. Artinya, sangat mungkin sebuah masyarakat dijajah oleh bangsa lain dan harus berkorban dalam banyak hal, namun agama dan adat istiadat masih dapat mereka pertahankan. Ini menunjukkan bahwa mengubah keyakinan bukan hal yang mudah.

Di sisi lain, bila Islam ternyata mampu mengubah keyakinan dan agama orang lain atau masyarakat lain dengan cepat, maka hal yang sama harus diterapkan dalam Syiah. Di sinilah muncul pertanyaan besar, apakah Syiah yang kita dakwahkan saat ini dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat?

Jika kesederhanaan Islam dan Syiah menjadi sulit dan kompleks dengan penambahan masalah-masalah lain maka Syiah akan kehilangan kepopulerannya. Jika untuk menjadi seorang Syiah harus melewati serangkaian masalah terlebih dahulu dan kita tidak mampu menyederhanakannya, maka di masa yang akan datang kita akan mengalami masalah besar dalam mengembangkan dakwah Syiah di Indonesia.

Sebagai sebuah perbandingan lain, Mu’tazilah dapat menjadi sebuah contoh betapa mereka tidak pernah mampu mempengaruhi masyarakat. Penyebabnya sangat sederhana sekali, karena akidah mereka dijelaskan dengan cara yang rumit dan kompleks. Banyak ketidakjelasan di sana, bahkan tidak semua kalangan ilmuwan mampu mencerna akidah mereka. Akibatnya Mu’tazilah hanya dapat ditemukan dalam wacana ilmiah dan tidak akan pernah mampu masuk dalam pemahaman masyarakat.

Syiah harus dikembangkan bak sebuah makanan lezat dan instan. Sebuah tata pikir yang mudah, tidak kompleks. Tidak banyak kembangannya sehingga menjadi sulit dan tidak dapat dipertahankan. Kita harus mampu menjelaskan Syiah secara komprehensif dalam sebuah penjelasan ringkas.

Tentunya, menjelaskan Syiah secara sederhana namun komprehensif tidaklah mudah. Begitu juga tidak semua orang mampu melakukannya. Hal ini membutuhkan kerja sama semua pihak untuk memikirkan masalah ini bersama-sama dan dituangkan dalam bentuk tulisan; baik itu berupa buku, brosur, silabus dan lain-lain. Oleh karena itu, kita membutuhkan media murah untuk melakukan tranformasi ide ini ke masyarakat.

2. Ketat dan Kaku dalam Beragama

Kelompok Khawarij memiliki pesona tersendiri dalam sejarah Islam. Namun, tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa setelah peristiwa Nahrawan, Khawarij masih memiliki pandangan yang dapat dibanggakan dan diterima oleh masyarakat. Pada dasarnya, orang-orang Khawarij senantiasa mengidentikkan dirinya sebagai orang-orang zuhud, benci terhadap golongan kaya dan benci kezaliman. Dalam sisi pemikiran, mereka menunjukkan dirinya sebagai golongan yang berpegang teguh dengan al-Qur’an. Sikap ini tidak membuat mereka memiliki tempat khusus di dunia Islam. Saat ini, dapat dikatakan bahwa Khawarij tidak memiliki perkembangan bahkan dapat dikatakan telah terhapus dari kumpulan mazhab Islam.

Tentu perlu dicari tahu apa penyebabnya. Salah satu penyebab kemandekan bahkan kemusnahan mereka adalah keketatan dan kekakuan dalam beragama. Sebagai bahan perbandingan, coba kita lihat bagaimana di timur dunia Islam, Abu Hanifah dengan pandangan fiqihnya memberikan syarat yang mudah dalam beragama. Ia membolehkan orang melakukan salat dengan bahasa Persi dan menyatakan bahwa setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat berarti telah menjadi muslim. Cara pandang Abu Hanifah membuat banyak orang mengikutinya dan mazhab Hanafiyah cepat berkembang menjadi luas. Ini salah satu pengalaman sejarah.

Sementara Khawarij begitu kaku dalam memahami dan mengaplikasikan rasa keberagamaannya. Mereka menganggap orang yang melakukan dosa besar adalah kafir dan wajib untuk dibunuh. Siapa saja yang menjadi Khawarij, maka ia harus melepaskan urusan dunianya dan ikut dalam Dar al-Hijrah dan harus siap untuk melakukan perjuangan dari pagi hingga malam. Sikap kaku yang dimiliki oleh Khawarij membuat mereka tidak diterima kalangan lain.

Setiap bentuk kekakuan dalam beragama apapun bentuknya baik dalam masalah teori, fiqih, dan bentuk kontrol sosial dalam sebuah negara akan menghalangi perkembangan sebuah mazhab.

Dalam rentang sejarah, kita dapat mengatakan bahwa kelompok Murjiah telah menguasai dunia. Tapi yang dimaksud dengan kelompok Murjiah di sini bukan Murjiah yang dimuat dalam buku “Milal wan Nihal” yang memiliki akidah bahwa tidak ada masalah jika seseorang melakukan dosa, sekalipun dosa yang dilakukan adalah dosa besar. Tapi maksud Murjiah di sini adalah sebuah kenyataan di luar. Kita dapat melihat bahwa cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, ia sudah dianggap sebagai seorang muslim. Dan ketika ia melakukan dosa tidak berarti bahwa ia telah keluar dari Islam.

Bila Syiah punya cara pandang yang kaku dan menyempitkan ruang gerak pengikutnya maka Syiah tinggal menunggu waktu kebinasaannya seperti Khawarij atau paling tidak, Syiah hanya akan bertahan di sebuah kawasan tertentu.

Hal ini jugalah yang membuat Wahabi/Salafi tidak mampu mengembangkan pengaruhnya secara maksimal meskipun ditopang dengan biaya besar dan telah dikerahkan seluruh daya dan upaya untuk mengembangkan pengaruhnya di kalangan kaum muslimin. Kekakuan dalam beragama yang mereka terapkan tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Khawarij karena mereka membuat batasan yang kaku dan ekstrim dalam mendefinisikan kekufuran dan keimanan, dan ini tidak dapat diterima oleh banyak kalangan.

3. Cara Pandang Sektarian

Kiranya diperlukan sebuah kejelasan dalam menilai Syiah, apakah Syiah adalah sebuah kelompok ataukah sebuah mazhab yang berusaha menghidayahi manusia. Bila inti ajaran Syiah adalah sebuah cara pandang terhadap Islam, maka tidak semestinya kita membatasinya sebagai sebuah kelompok.

Meskipun pengikut Syiah tidak terbatas pada sebuah ras tertentu, namun pada kenyataannya, kondisi tersebut dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dari pengikut Syiah. Semakin kita berusaha mempersempit Syiah, berarti kita memaknai Syiah hanya sebagai sebuah kelompok.

Sejarah mencatat, setiap kelompok minoritas akan selalu mempertahankan ciri-cirinya dengan simbol-simbol tertentu. Hubungan dengan masyarakat sekitar akan mereka batasi dan mereka hanya berhubungan dengan sesama mereka. Mereka tidak akan mengawinkan anak wanitanya dengan orang lain, sebagaimana mereka tidak mencari anak wanita lain untuk anak lelakinya. Bila pengikut Syiah melakukan hal yang sama dalam kondisi sebagai minoritas maka tidak akan ada yang ingin mengenal dan mengetahui Syiah. Demikian pula sebaliknya.

Bila kita tidak mempunyai kepentingan untuk mengembangkan Syiah, maka sikap seperti kaum minoritas itu tidak akan mempunyai dampak dan kita bisa saja menambahkan sesuatu yang baru ke dalam mazhab ini. Saat ini banyak hal yang sebelumnya tidak ditemukan pada Syiah, sekarang telah ditambahkan, bahkan dijadikan sebagai sebuah kesepakatan. Bila seseorang tidak meyakini masalah itu, bahkan bila ia adalah Syiah, mereka akan mengeluarkannya dari mazhab Syiah. Orang seperti itu tidak dapat diterima dalam sebuah komunitas Syiah.

Permasalahannya adalah ketika kita ingin mengembangkan dan memperkenalkan Syiah kepada orang lain. Di sini cara pandang kita perlu diperbaiki. Syiah jangan dijadikan sebagai sebuah kelompok eksklusif. Selama kita menjadikan Syiah hanya sebagai sebuah kelompok, maka ia tidak dapat berkembang sebagaimana mestinya, bahkan setiap hari akan semakin mengecil. Syiah harus dikembalikan sebagai mazhab yang memiliki risalah untuk memberi petunjuk dan hidayah kepada umat manusia. Kita perlu mengeluarkannya dari sifat kelompok menjadi sebuah ajaran yang dapat diterima oleh semua orang.

4. Minus Informasi Terpusat

Ijtihad adalah salah satu dari keunggulan ajaran Syiah. Hal ini dibuktikan dengan perkembangan ilmu-ilmu pengantar ijtihad, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Namun sayangnya, sering terjadi penyalahgunaan. Dengan alasan ijtihad, banyak orang melontarkan pandangan-pandangan yang malah tidak diterima oleh masyarakat umum.

Masalah paling urgen bagi Syiah saat ini adalah tidak adanya informasi terpusat. Kita tidak tahu kepemimpinan Syiah berada di tangan siapa. Setiap mujtahid, dengan mudah melontarkan pandangannya setiap saat yang terkadang berbeda dengan pendapat mujtahid lain dan tidak dapat diterima oleh masyarakat umum. Syiah bukanlah sebuah ajaran yang setiap saat bisa ditambah sesuka hati. Sebuah organisasi kecil saja tidak mudah untuk bisa menambah aturan-aturannya apa lagi ini sebuah mazhab.

Bisa saja kita berandai-andai dan mengatakan bahwa100 tahun kemudian, ulama besar Syiah akan berkumpul dan melakukan perubahan-perubahan. Dalam syiah, gambaran pandangan itu seperti apa?, Siapa yang memiliki tugas untuk menjelaskan akidah Syiah? Di mana ulama Syiah sepakat dalam sebuah masalah? Ini pertanyaan-pertanyaan yang perlu mendapat jawaban jelas dan pasti dari ulama Syiah.

Bila pusat-pusat pemikiran Syiah berbilang dan tidak ada definisi yang tuntas mengenai masalah ini, yang menjadi korban adalah para pengikut Syiah sendiri. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Bila seorang telah Syiah, ia harus mengikuti pandangan yang mana? Siapa yang harus didengarnya?

Penjelasan ini mungkin menimbulkan pertanyaan lain bahwa bila informasi tentang Syiah telah dipusatkan, itu berarti tidak ada kebebasan berpendapat, tertutupnya pusat-pusat penelitian dan tidak ada lagi tempat untuk berbeda. Ini dua masalah yang berbeda. Penelitian punya tempat tersendiri dan masyarakat perlu kebesaran hati untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang duduk di pusat-pusat penelitian untuk melakukan aktivitasnya. Tapi, masyarakat dari sisi keberagamaannya, baik itu Syiah atau tidak, perlu mengetahui apa kewajibannya, apa yang harus dilakukannya.

Bila kita sepakat bahwa Syiah perlu diperkenalkan kepada orang lain, maka dibutuhkan sebuah kesepakatan puncak dalam masalah-masalah penting. Kesepakatan puncak ini dapat dicerap ketika, setidak-tidaknya, dalam prinrip-prinsip sederhana dan primer ada kesepakatan sampai pada batas-batas tertentu.

Sebagai contoh, para marja Syiah kontemporer telah berbicara banyak dan luas tentang tidak adanya perubahan dalam al-Quran. Mereka bahkan telah memberikan peringatan bahwa dalam Syiah tidak diyakini adanya tahrif al-Quran. Namun, tetap saja ada satu dua ulama Syiah yang meyakini adanya tahrif al-Quran dalam Syiah. Ini bukan permasalahan baru, sejak dahulu hal yang seperti ini sudah ada. Saat ini, pengikut Syiah membutuhkan sebuah majelis ulama yang mengeluarkan sebuah fatwa terpusat. Sehingga ketika mereka telah mengkaji dan mengeluarkan fatwa, yang lain harus mengetahui bahwa pandangan yang dikeluarkan oleh majelis ulama Syiah ini adalah sebuah prinsip dan tidak ada pandangan lain lagi.

Sebagai contoh, sekitar tahun 1931-1933 sempat terjadi perdebatan serius tentang masalah Raj’ah di kota Qom. Perdebatan ini akhirnya mencapai puncak sehingga hampir timbul konflik. Akhirnya, masalah ini ditanyakan kepada Ayatullah Abdul Karim Hairi Yazdi, marja terbesar Syiah saat itu di Iran. Dengan mudah dan santai beliau menuliskan fatwanya: “Bila seseorang tidak meyakini akan Raj’ah, ia tidak keluar dari Syiah”. Perdebatan sengit itu langsung redam.

Pengikut Syiah di Indonesia sendiri, mempunyai potensi untuk mengumpulkan semua kecenderungan yang ada. Karena itu sudah menjadi salah satu kepribadian bangsa Indonesia. Syiah Indonesia perlu mengkaji titik-titik kesamaan yang dimiliki. Kesamaan yang ada ini dapat menjadi solusi meredam berkembangnya pandangan-pandangan yang berbeda yang menggoyahkan tatanan sosial masyarakat. Ketika orang-orang yang memiliki kelayakan secara ilmiah atau sebuah badan ulama tertentu tidak mengeluarkan pandangan dalam menyikapi sebuah masalah, maka akan muncul pandangan-pandangan dari mereka yang tidak memiliki kelayakan untuk mengeluarkan pendapat. Hal ini sangat rentan dan akan menimbulkan sebuah konflik.

Hal yang sama terjadi di pusat-pusat Syiah seperti Qom dan Najaf. Ketika seorang marja tidak mengeluarkan pandangannya tentang sebuah masalah agar tidak muncul sebuah problem, solusinya akan diambil alih oleh orang-orang yang tidak layak untuk mengeluarkan fatwa. Tentu mereka tidak bisa disalahkan seratus persen, karena mereka sendiri perlu tahu apa yang harus dilakukan. Ketika tidak ada penjelasan sedang mereka dituntut untuk melakukan sesuatu, perlu penjustifikasian untuk perbuatan mereka maka mereka akan menerima pendapat dari siapa saja.

Bila di Indonesia kita telah menyamakan visi dan ada kesepakatan, kita akan mampu menyampaikan pendapat kita sekaligus memperkenalkan Syiah dengan baik. Namun, selama tidak ada kesamaan persepsi, sulit dibayangkan kita dapat berkiprah di Indonesia kelak.

5. Minus Sikap Moderat

Sejarah mencatat banyak ulama Syiah yang memiliki hubungan baik dengan ulama Ahli Sunah. Syekh Mufid dan Syekh Thusi merupakan salah satu contohnya. Keduanya cukup getol melakukan kajian perbandingan fiqih Syiah dan Ahli Sunah. Buku al-Khilaf yang memuat ragam mazhab Islam dalam sebuah masalah fiqih merupakan salah satu karya berharga Syekh Thusi dalam masalah ini.

Murid-murid Syekh Thusi yang berhijrah ke daerah Rey di Iran—pusat mazhab Syafi’i dan Hanafi—telah berhasil disulap menjadi pusat pemikiran mazhab Syiah tanpa terjadi konflik. Orang-orang Syiah masuk ke sana dengan menunjukkan sikap moderat dan cinta damai. Sebuah sikap warisan dari hauzah Najaf. Bila kita membuka buku-buku Ahli Sunah yang menceritakan tentang tokoh-tokoh ulama, akan ditemukan nama Allamah Hilli yang disebut-sebut sebagai ulama Syiah yang memiliki kepribadian moderat. Beliau tidak mencaci maki sahabat.

Setelah kedatangan ulama Syiah, kondisi kota Rey berubah drastis. Kaum Sunah ikut menghadiri ceramah-ceramah yang disampaikan oleh ulama Syiah. Sebaliknya, ulama Syiah ikut menghadiri acara-acara yang diadakan oleh Ahli Sunah. Terkadang terjadi dialog-dialog sehat di antara mereka. Semuanya berjalan tanpa masalah, sementara pengikut Syafi’i dan Hanafi sering terlibat konflik di antara mereka. Syiah dapat diterima oleh kedua belah pihak. Rahasianya adalah karena pandangan yang disampaikan bersifat seimbang dan moderat. Dengan sikap moderat, mereka berhasil menjaga dan mengembangkan Syiah.

Syiah masa kini di Indonesia perlu menunjukkan sikap moderat dan meninggalkan sikap ekstrim. Ini merupakan tuntutan zaman. Bila hal ini tidak dilakukan, Syiah tidak akan berkembang sebagaimana mestinya. Sikap moderat yang dimaksudkan di sini, bukan berarti segala sesuatunya kita sampaikan sesuai dengan maslahat secara ekstrim dan di setiap ruang dan waktu kita akan menyampaikan ajaran Syiah sesuai dengan cara pandang yang telah ada. Tidak demikian! Jelas ada ruang-ruang yang masih bisa ditolerir dan ada yang tidak bisa, seperti antara tauhid dan syirik yang tidak dapat dipertemukan. Perlu diingat bahwa Syiah memiliki akidah-akidah jelas dan bernilai yang harus dipertahankan. Kita perlu membedakan mana yang merupakan substansi Syiah dan mana yang bukan.

Hal lain yang perlu diingat, setiap masyarakat tidak dapat menerima segala macam cara. Ada sejumlah cara tertentu yang dapat mereka terima dengan baik. Jadi kita tidak dapat dengan serta merta menyampaikan Syiah dengan gaya menentang arus dan cara pandang masyarakat setempat.

6. Minus Penguasaan Kondisi Ruang dan Waktu

Selain mempergunakan cara moderat, Syiah masuk ke Iran melalui tasawwuf. Perlahan-lahan tasawwuf yang ada diperbaiki. Sebagian besar mereka yang semula adalah Syiah tasawwuf berubah menjadi Syiah fiqih. Tentunya yang tidak bisa dilupakan bahwa Iran sejak awal memang mempunyai potensi itu.

Berbeda dengan Syiah, dakwah Wahabi/Salafi di mana pun, khususnya di Afrika, yang paling awal diserang adalah kelompok tasawwuf. Pada prinsipnya, Wahabi/Salafi menolak tasawwuf dan tidak memberikan ruang sedikitpun untuknya.

Karena kondisi setiap masyarakat berbeda-beda maka sudah tentu, cara yang dipakai juga akan berbeda-beda. Namun perlu diperhatikan bahwa banyak kondisi yang sebenarnya dapat dimanfaatkan dan lewat kondisi itu kita bisa mendakwahkan Syiah. Apa yang dilakukan oleh Wali Songo merupakan contoh paling jelas dalam dakwah di Indonesia. Mereka mampu melihat kondisi yang ada di masyarakat dan sesuai dengan kondisi itu mereka memasukkan ajaran-ajaran Islam. Namun, apakah tugas mereka telah selesai? Tentu jawabannya adalah tidak. Apa yang mereka lakukan adalah langkah awal, kaum muslimin setelahnya memiliki kewajiban untuk melanjutkan cara mereka ini dan memperbaiki cara pandang masyarakat.

Salah satu keunggulan Syiah dibandingkan mazhab yang lain adalah sistem pemikirannya yang kaya. Di Syiah ada cara pandang fiqih, kezuhudan, kearifan, begitu juga kajian-kajian akhlak tingkat tinggi. Dapat dikatakan Syiah adalah sebuah mazhab rasional dan pada kondisi tertentu, hal ini dapat dimanfaatkan demi perkembangan Syiah.

Di Arab Saudi, jurusan teologi tidak diizinkan berdiri. Sementara pada waktu yang sama, Syiah dengan mudah dapat memanfaatkan teologi yang disukai oleh orang-orang Mesir dan sebagian besar kaum muslimin di seluruh dunia, termasuk Indonesia, untuk mengembangkan dakwahnya. Sedangkan Wahabi/Salafi memiliki kecenderungan yang sangat ketat dalam masalah hadis. Dalam Syiah, selain kajian-kajian hadisnya bersifat serius, ia juga dilengkapi dengan sistem berpikir seperti irfan, filsafat dan lain-lain

Hendaknya kekayaan khazanah pemikiran Syiah ini tidak dipersempit. Bila seseorang hanya mampu menguasai salah satu dari disiplin ilmu dari khazanah pemikiran Syiah, semestinya ia tidak mengambil keputusan-keputusan final, tapi biarkanlah ruang kosong yang ada dipenuhi oleh mereka yang memilki kelebihan dalam disiplin ilmu lain. Bila tidak, Syiah akan dianggap hanya memiliki sebuah satu cara pandang saja. Dan untuk merubah cara berpikir seperti ini, dibutuhkan energi yang cukup besar.[] Qom, 5 Mei 2007

Penulis: Anggota Redaksi ISLAT

Diskusi: (13) >> feed
Sejarah dan Strategi Dakwah Syiah di Indonesia
Oleh: arsyi pamma, July 16, 2007

Apa yang dijelaskan oleh Saleh Lapadi adalah bentuk perhatian yang serius dalam menyebarkan syiah di Indonesia. Metodologi menjadi item penting sebagai bahan diskusi mengenai efektifitas sosialisasi dan ideologisasi. perlu diketahui bersama-sama bahwa penyebaran syiah di Indonesia banyak menghadapi hambatan, dimana hambatan itu lebih banyak muncul dari orang-orang syiah sendiri ketimbang nonsyiah. energi yang seharusnya ditabung secara perlahan agar dapat digunakan secara efektif justeru terkuras dalam perdebatan dan konflik internal diantara penganut syiah sendiri. objek perdebatannya lebih mengarah mengenai siapa yang paling berhak menjadi patron pergerakan dan mutlak harus diikuti lalu disertai klaim otoritas wilayat yang sifatnya bias. seharusnya adalah pengembangan diskursus metode dakwah yang persuasif, rasional dan kontekstual yang nantinya bisa menjadi bahan evaluasi akan progresifitas setiap beberapa periode. berdirinya beberapa yayasan ahlulbayt di Indonesia dan munculnya Ijabi sebagai ormas syiah yang sifatnya terbuka. mestinya membuat orang-orang yang mengaku sebagai orang gerakan bisa mengelaborasi secara arif sehingga tidak ada ketersinggungan antara satu dan yang lainnya. keberagaman cara pandang dalam melakukan gerakan dakwah memang seharusnya ditempatkan dalam skala prioritas. keberagaman metode bukan berarti bebas mengapresiasi nilai sebuah ajaran. tapi merdeka dalam satu poros nilai yang bisa sama-sama ditafsir secara apik dan dapat dipertanggung jawabkan secara imanent dan transendent . meminjam istilah Lapadi "menyempitkan syiah" juga terjadi ketika satu dan yang lainnya melemparkan penilaian tak sedap diantara para penganut syiah mengenai metode dan networking. bukankah semakin beragam semakin indah dan romantis. tanggapan ini tidak terstruktur dan terkesan buru-buru. setidaknya inilah keprihatinan saya akan realitas malu-malu yang terjadi diantara penganut syiah. semoga damai

...
Oleh: Tjeppy Mulyadi, November 09, 2007

Apa yang saya alami selama 12 tahun mengikuti "arus" Syiah menjadi bukti apa yang telah dikemukakan oleh mas Saleh Lapadi dan mas Arsyi Pamma. Masih banyak kelemahan2 yang perlu dibenahi. Kalau tidak, maka dakwah ajaran Ahlul Bait akan stagnan.
Suatu contoh mungkin metode dakwah perlu diperbaiki dimana yang tadinya selalu memasuki wilayah yang sensitif, untuk selanjutnya hanya memasuki wilayah yang aman dan netral, tentunya dengan tidak meninggalkan ciri khas Ahlul Bait.
Kemudian selain dakwah bil lisan, perlu pula digalakkan dakwah bil hal, misalnya dengan membantu pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, pengobatan gratis, pembangunan rumah sakit, dsb. Mungkin sepak terjang Hizbullah di Lebanon dapat ditiru.

...
Oleh: Tjeppy Mulyadi, November 09, 2007

Kekuatan Syiah di Indonesia masih tercerai berai. Yah mungkin hambatan yang besar adalah ego para tokohnya yang masih kuat.

...
Oleh: TMulya, November 09, 2007

Kuncinya adalah sikap legowo para tokoh Syiah di Indonesia yang saat ini terkesan tercerai berai untuk duduk bersama menyatukan Visi dan Misi dakwah.

Sejarah dan Strategi Dakwah Syiah diIndo
Oleh: etty, April 29, 2008

Madzab Syiah hanya populer di kalangan mahasiswa dan intelektual Islam, secara awam masih menjadi momok yang menakutkan sebagai aliran sesat, sepertinya ulama2 Syiah masih harus mengatur strategi agar ajaran Syiah lebih membumi

...
Oleh: Vendra, May 02, 2008

Kita tidak hanya dituntut untuk selalu melakukan yang benar, akan tetapi juga melakukannya dengan cara yang benar... cara yang terbaik!!!
Pembenahan diri/kelompo dan mengenali target dengan baik. tidak semua level masyarakat dapat dihukumi sama dan dengan pendekatan yang sama pula. kenali titik sentuh yang baik dalam da'wah! tinggalkan tujuan yang selalu mengacu pada target.. buahnya banyak kekecewaan.. distribusi informasi, peran dan tugas adalah hal yang paling penting. adakalanya mesti didiskusikan dan diambil kesimpulan bersama, ada pula kita harus bergerak dengan mobilisasi komando. memahami ini dengan baik akan menjaga kita dari kekacauan-kekacauan serta perpecahan.
Salam untuk semua...

cara yang baik
Oleh: haedar, May 23, 2008

keluasan ilmu dalam madzhab syiah merupakan perbedaan yang sangat jelas dengan madzhab lain namun yang perlu di lakukan adalah menasionalisasikan ajaran syiah itu yang terpenting tanpa harus meninggalkan substansi ajarannya. para ustadz diberi ruang yang luas untuk mengajar dengan caranya masing2 di daerahnya, indonesia dengan kemajemukannya memerlukan cara yang berbeda-beda dalam dakwah syiah..insyaallah akan tercapai dakwah yang diharapkan ..amin

Senin, 15 Desember 2008

Monumen Oase Khum (18 Dzulhijah)


menuju-khum3

Demi Tuhan awan dan halilintar

jubahku dipakai gelandangan

puisiku dibaca orang-orang gila

rumahku dijarah penyamun sahara

tamanku dirusak kawanan srigala

Siapa rajawali, siapa kurcaci?

Siapa ksatria, siapa pecundang?

Mana samudra, mana gelembung buih?

Mana lelangit, mana lubang ular?

Perih, debu di mata

Nyeri, duri di rongga

Sesak, batu di dada

pangeran tak bermahkota

sebatang kara


Mestikah kutabuh genderang perang…

niscaya iringan keranda bersambung

Mestikah kutari-tarikan pedang…

dan menara-menara masjid runtuh

Mestikah kuterjang…

lalu Muhammad tersedu


aku hela napas

aku tengadahkan paras

aku labuhkan rasa

aku menangkan tabah

aku serahkan kepada sejarah

Kamis, 04 Desember 2008

Ikhwanul Muslim dan Tabligh Akan Ke Neraka???? atau BENAR?????

Fatwa-Fatwa Para Ulama Salafiyyah Wahabiyyah Terhadap Gerakan-gerakan Islam.
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz:

Pertanyaan:
“Semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu. Hadith Nabi dalam hal perpecahan umat: …Akan berpecah umatku menjadi 73 golongan. Semua di neraka kecuali satu… dan seterusnya.
Apakah Jemaah Tabligh (*tentunya termasuk pimpinan mereka seperti Maulana Muhammad Ilyas dan Maulana Muhammad Zakaria) dengan kesyirikan dan bidaah yang mereka miliki, juga jemaah Ikhwanul Muslimin (*tentunya termasuk pemimpin besar mereka Dr. Yusuf Qaradhawi, Hasan al-Banna, Syeikh Muhammad l-Ghazali, Syeikh Fathi Yakan, Dr Abdullah Azzam, Syeikh Ahmad Yasin, Syeikh Said Hawa dan lain-lain) dengan kekelompokan mereka dan ketidaktaatan mereka kepada pemerintah… apakah dua kelompok ini termasuk ke dalam kelompok-kelompok yang binasa?”

Jawab:
“Masuk ke dalam 72 golongan (*yang akan masuk ke neraka). Dan siapa saja yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah maka masuk kelompok 72 golongan. Yang dimaksud dengan kata ‘umatku’ adalah umat ijabah, yakni umat yang menyambut seruan Allah dan menampakkan diri bahwa mereka mengikuti Nabi . Mereka ada 73 golongan. Yang selamat adalah yang mengikuti baginda dan istiqamah di atas agamanya. Sedangkan yang 72 golongan, di antara mereka ada yang kafir, ada yang ahli maksiat, ada yang ahli bid’ah, bermacam-macam.”

Pertanyaan:
“Yakni, dua kelompok ini termasuk dalam 72 golongan itu?”

Jawab:
“Ya, termasuk dari 72 golongan itu (*Akan berpecah umatku menjadi 73 golongan. Semua di neraka kecuali satu. Maksudnya Maulana Muhammad Ilyas, Maulana Muhammad Zakaria Dr. Yusuf Qaradhawi, Hasan al-Banna, Syeikh Muhammad al-Ghazali, Syeikh Fathi Yakan, Dr Abdullah Azzam, Syeikh Ahmad Yasin, Syeikh Said Hawa dan lain-lain akan ke neraka)

(Sumber: salah satu rakaman pelajaran Al-Muntaqa di kota Tha‘if, 2 tahun sebelum kematian Ben Baz)


Muhammad Nashiruddin Al-Albani

“Tidak benar jika dikatakan bahwa Ikhwanul Muslimin termasuk Ahlus Sunnah, karena mereka memerangi As-Sunnah.”

(Sumber: Kaset Fatwa Para Ulama sekitar Jemaah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin, studio Minhajus Sunnah, Riyadh)


Muhammad bin Salih Al-’Utsaimin

Pertanyaan:
“Apakah ada nas-nas dari Al-Quran dan Sunnah Nabi yang memperbolehkan berbilangnya kelompok atau ikhwan?

Jawabnya:
“Dalam Al-Qur`an mahupun As-Sunnah tidak ada sesuatu yang membolehkan berbilangnya kelompok-kelompok dan jemaah-jemaah. Bahkan yang ada, Al-Qur`an maupun As-Sunnah mencela hal itu. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belahkan agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.”
(Al-An’am: 159)

(Sumber: kitab Jama’atun Wahidah la Jama’at oleh Syeikh Rabi’)

Shalih bin Fauzan
Pertanyaan:
“Apa hukum kewujudan kelompok-kelompok seperti Jemaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan lain-lain di negeri muslimin secara umum?”

Jawab:
“Jemaah-jemaah pendatang ini wajib untuk tidak kita terima (*kalau diterima maksudnya berdosa), Kerena mereka ingin menyelewengkan dan memecah-belah kita. Menjadikan yang ini ikut jamaah Tabligh, yang ini ikut Ikhwanul Muslimin, yang ini begini… Kenapa berpecah seperti ini? Ini termasuk kufur terhadap nikmat Allah. Kita berada di atas satu jamaah dan agama kita jelas. Kenapa kita menjadikan yang rendah sebagai ganti yang baik?”

(Sumber: buku Al-Ajwibah Al-Mufidah)

Shalih Al-Luhaidan

“Ikhwanul Muslimin dan Jemaah Tabligh bukan termasuk orang-orang yang berada di atas manhaj yang benar. Sesungguhnya seluruh jemaah dengan penamaan-penamaan semacam itu tidak punya sandaran pada pendahulu umat ini.”

(Sumber: kaset Fatwa Para Ulama tentang Jamaah-jamaah dan Pengaruhnya di Negeri Al-Haramain, Studio Minhajus Sunnah, Riyadh)

Kamis, 27 November 2008

Dagelan Abadi Bernama “Al-Qaida”

“Kami memberi waktu dua bulan kepada orang-orang Persia, dan terutama penguasa Iran, untuk menghentikan segala bentuk bantuan bagi pemerintah Syiah Irak dan untuk tidak melakukan intervensi, baik langsung maupun tidak langsung…jika tidak, maka sebuah perang yang brutal sedang menanti anda…”

(Abu Omar al-Baghdadi, pemimpin al-Qaida di Irak) []

Jika anda pernah membaca berita di atas, berhenti dulu membuat kesimpulan. Anda disarankan membaca berita-berita berikut ini.

Pertama, pernyataan kebencian terhadap Syiah yang dinisbatkan kepada al-Qaida, seperti di atas, bukanlah satu-satunya. Sebagai contoh, CNN pernah merilis rekaman dimana Osama bin Laden, pemimpin tertinggi al-Qaida, menyerukan kepada kaum Sunni di Irak untuk menyerang Syiah, yang disebutnya sebagai “pengkhianat”, “rejeksionis”, “agen AS”.[[2]]

Kedua, Komisi 9/11 yang dibentuk Washington untuk “menyembunyikan kebenaran”—alih-alih mengungkapkannya—menyimpulkan bahwa jaringan teroris al-Qaida sejak lama telah menjalin hubungan dengan Iran. Komisi itu juga mengatakan, “Laporan intelijen menunjukkan adanya potensi sangat besar tentang kolaborasi antara al-Qaida dengan Hizbullah daripada yang pernah dibayangkan sebelumnya.” Karena Hizbullah adalah kelompok yang didukung Iran, maka komisi itu menempatkan al-Qaida, Hizbullah, dan Iran dalam satu jaringan gerombolan teroris.[]

Ketiga, newsroomamerica, mengutip pernyataan para pejabat Barat yang anonim, menulis bahwa al-Qaida menggunakan Iran untuk mengorganisasi dan melancarkan operasi melawan AS dan pasukan koalisi di Irak serta di manapun. Sementara The Financial Times melaporkan bahwa operasi al-Qaida dilakukan dengan persetujuan langsung pemerintahan Islam garis keras di Iran.[[4]]

Keempat, Brigadir Jenderal Kevin Bergner, jurubicara “Camp Victory” di Irak, menuduh Brigade al-Quds Iran terlibat dalam mendukung milisi anti-AS di Irak. Lebih spesifik lagi Bergner menyebutkan bahwa Brigade al-Quds bertanggung jawab atas tewasnya 5 serdadu AS di Karbala, yang digambarkannya diserang dengan persenjataan canggih itu.[]

Mari kita petakan: al-Qaida menuduh Iran mengintervensi Irak, dan menuduh Syiah sebagai kolaborator AS; Amerika menuduh Iran mendukung milisi anti-AS di Irak, dan menjadi basis perencanaan dan operasi al-Qaida.

Luar biasa, sepertinya kita harus menyanyikan lagu lawas milik Vina Panduwinata, ‘Logika’, “Di mana logika…?”

Namun, kita tidak tahu kebenaran dan keakuratan berita-berita itu karena kita setiap harinya terbiasa menjadi keranjang sampah berita-berita semacam itu.

Bisa jadi akan hadir dalam pikiran kita dua kemungkinan: [1] jika berita itu benar, maka al-Qaida tampaknya lebih kompeten dalam berperan sebagai biro humas Gedung Putih ketimbang “pahlawan” Islam, sebagaimana yang diyakini para pendukungnya: melontarkan ancaman kepada sesama Muslim; menyerang orang-orang tidak berdosa; dan memberi citra negatif bagi Islam dan para pejuang Muslim sejati. [2] Dan, jika berita itu tidak benar, maka hantu bernama “al-Qaida” ini benar-benar menjadi epidemi global para neokon AS untuk menggelar perangnya di seantero dunia.

Namun bagaimanapun, dua kemungkinan tersebut menyajikan kepada kita satu kesimpulan: bahwa yang namanya AS dan al-Qaida (apa dan siapa pun ia) tampaknya sama-sama membenci Iran, dan Syiah pada umumnya. Jika begitu, apa yang disebut jurnalis kampiun Seymour Myron Hersh (The New Yorker, 25/02/07) sebagai “perubahan arah” (redirection) kebijakan strategis AS untuk menempatkan Iran dan Syiah sebagai “musuh nomor wahid”—di antaranya dengan mempersenjatai kelompok-kelompok anti-Syiah—benar adanya [[6]].

Tapi nanti dulu! Al-Qaida tidak hanya meracau soal Syiah. Ayman az-Zawahiri, deputi Osama yang digadang-gadangkan sebagai ‘inkarnasi’ Nabi Harun itu (dan tentu saja Osama adalah Nabi Musa-nya), pernah menyebut Hamas yang Sunni itu sebagai pengkhianat Allah, karena memilih ikut dalam proses demokrasi, yang dipandang az-Zawahiri sebagai tindakan berdamai dengan Israel [].

Jadi, ini bukan soal Syiah. Ini soal para nihilis, seperti neokon di AS dan al-Qaida, yang membenci kekuatan anti-imperialisme di mana pun, siapa pun, dan kapan pun. Apa bedanya jika “pan-Amerikanisme” neokon dan “pan-Wahabisme” gaya al-Qaida sama-sama hendak menghadirkan ‘peradaban’ baru dengan menghancurkan peradaban lama tanpa reserve. Bukankah keduanya sama-sama imperialis-nihilistik?

Iran vs AS plus Al-Qaida di Irak

Sebagian pengamat Barat, seperti Robert Dreyfuss, kerap keliru ketika menyimpulkan bahwa Iran dan AS sama-sama ‘mendukung’ pemerintahan al-Maliki, yang Syiah itu, di Irak. Kesalahan yang sama terjadi ketika mereka menganggap bahwa Iran dan kaum Syiah di Irak sama-sama berkepentingan terhadap keberadaan pasukan koalisi pimpinan AS di Irak.

Sejatinya, AS, sebagaimana pernah diungkapkan mantan menlu Collin Powell, tidak menginginkan Syiah tampil ke pentas politik Irak pasca-Saddam. Mereka telah menyiapkan figur sekuler seperti Achmad Halabi, yang mereka pelihara selama ini—sebagaimana juga mereka memelihara orang-orang Iran anti-pemerintahan Islam. AS terpaksa menerima konfigurasi politik Irak seperti saat ini, di mana mayoritas Syiah berkuasa, karena tuntutan keras Ayatullah Ali Sistani, figur terpopuler di kalangan Syiah Irak, agar segera dilaksanakan pemilu yang langsung dan bebas di Irak pasca-Saddam. Dengan kata lain, AS tidak mempunyai pilihan lain kecuali menempatkan mayoritas Syiah di pusat kekuasaan melalui pemilu.[[8]]

Maka, berbagai upaya pun dilakukan AS untuk memperlemah, bahkan mengkudeta pemerintahan al-Maliki[], dan sekaligus menjustifikasi keberadaan lebih lama pasukannya di Irak. Upaya-upaya memicu konflik sektarian, baik melalui militernya maupun para kontraktor keamanan partikelirnya, terus dilakukan. Sebagai contoh, banyak laporan dan analisis mengindikasikan keterlibatan unsur-unsur AS dan pasukan koalisi dalam pemboman pertama dan kedua terhadap Haram Imam Hasan Asykari di Samara [[10]].

Pernyataan terakhir George W. Bush bahwa pasukan koalisi masih akan berada di Irak karena pemerintahan al-Maliki tidak mampu menjamin keamanan di sana adalah indikasi lain, bagaimana Gedung Putih berupaya untuk terus mendelegitimasi pemerintahan terpilih di Irak. Padahal, bukankah ‘kegagalan’ al-Maliki juga merupakan bukti kegagalan Bush di Irak? Pemerintahan al-Maliki sebenarnya nyaris mirip dengan pemerintahan Hamas di Palestina yang tidak mempunyai wewenang untuk mengorganisasikan keamanan wilayahnya secara independen karena keberadaan pasukan pendudukan di wilayah mereka masing-masing.

Sementara itu, Iran, dalam hal ini, mendukung pemerintahan al-Maliki sekaligus menginginkan AS segera hengkang dari Irak. Dukungan Iran terhadap al-Maliki tidak bisa secara absolut ditafsirkan sebagai dukungan terhadap kolega Syiah-nya. Iran mendukung pemerintahan Irak karena memang pemerintahan inilah yang dipilih mayoritas rakyat Irak dalam pemilu, dan karena memang demikianlah pergaulan dan hubungan internasional semestinya dilakukan.

Pada saat yang sama, Iran berkepentingan dengan stabilitas kawasan. Sebab, instabilitas di sana telah banyak menimbulkan kerugian bagi Iran, terutama di wilayah perbatasan: maraknya perdagangan narkoba, penyelundupan senjata, dan aksi-aksi terorisme dari kelompok-kelompok anti-Iran. Bagi Iran, hengkanya AS beserta para pasukan swastanya dari Irak, secara damai, akan memberikan otoritas lebih kepada pemerintahan al-Maliki, atau siapa pun, untuk menghadirkan keadaan yang relatif lebih aman. Bagi Iran, preseden Vietnam yang lebih aman setelah ditinggal AS adalah sebuah pelajaran bahwa perginya AS tidak lantas berkorelasi dengan jatuhnya Irak ke dalam konflik saudara yang berdarah-darah (justru sekarang terbukti bahwa keberadaan AS justru memicu konflik sektarian yang tak pernah terjadi sebelumnya).

Karena alasan-alasan tersebut dan didukung dengan ketiadaan bukti, sebuah lembaga think tank transatlantik terkemuka, British American Security Information Council (BASIC), dalam laporannya, menyimpulkan bahwa Iran hanyalah “kambing hitam” bagi kegagalan AS di Irak[].

Dan, tampaknya tidak hanya AS yang menjadikan Iran sebagai “kambing hitam” di Irak. Al-Qaida di Irak juga punya gawe yang nyaris sama. Pernyataan kebencian terhadap Iran yang dilontarkan petinggi-petinggi al-Qaida, seperti dikutip pada awal tulisan, tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa al-Qaida tidak mendapatkan sambutan dan popularitas dari publik Irak, bahkan dari milisi-milisi Sunni sekalipun.

Karakter al-Qaida yang nihilistik, misterius, dan berperang menghadapi musuh yang sumir jelas telah membuat banyak orang Irak “jijik” mendengar nama ini. Beberapa waktu lalu, para syekh Sunni di Propinsi Anbar mendeklarasikan perang melawan al-Qaida [[12]]. Tak lama kemudian, teror bom pun terjadi di Anbar, yang sebagian menewaskan para syekh itu. Ditambah lagi, sebagian besar operator al-Qaida adalah orang-orang non-Irak, yang ujug-ujug datang ke Irak dan mengklaim ingin membebaskan Irak dari AS, sementara justru sebagian besar korban mereka adalah Muslim Irak sendiri[].

Eureka! AS membutuhkan instabilitas, untuk menjustifikasi keberadaan mereka di Irak, sementara al-Qaida menyajikan berbagai menu instabilitas: kekerasan, konflik, dan perpecahan, dalam petualangan keji mereka. Bukankah kedua hal ini terlihat naif jika dipandang sebagai sebuah kebetulan belaka?

Hamas vs AS plus Al-Qaida di Palestina

Seperti ditulis sebelumnya, az-Zawahiri, pernah menyebut Hamas sebagai “pengkhianat Tuhan” karena memilih ikut dalam pemilu Palestina 2006. Selain itu, petinggi nomor dua al-Qaida itu juga menasehati Brigade al-Qassam, sayap militer Hamas, untuk kembali angkat senjata. Namun, Khaled Mishaal, Ketua Biro Politik Hamas, menegaskan bahwa Hamas tidak membutuhkan nasehat siapa pun, terutama al-Qaida, dalam menentukan jalan perjuangannya[[14]].

Jelaslah sudah, bahwa Hamas bukan al-Qaida, dan al-Qaida tak seujung kuku pun mirip dengan Hamas.

Namun, seperti halnya gaya propaganda AS dan sekutunya terhadap Iran, beberapa waktu lalu pemimpin Fatah, Mahmoud Abbas, tiba-tiba saja menuduh Hamas melindungi al-Qaida di Jalur Gaza. Para Abbastan pun kerap meracau bahwa Gaza kini adalah sarang para teroris al-Qaida.

Keberhasilan Hamas membebaskan Alan Johsnton, reporter BBC, dari tangan kelompok franchise al-Qaida, “Jays al-Islam” (tuntutan para penculik adalah pembebasan para tahanan al-Qaida di Inggris), hanyalah salah satu bukti bahwa Hamas menentang praktik-praktik ilegal gaya kaum “jihadis-nihilis”. Hamas tidak melakukan deal dengan para penculik Johnston. Sebaliknya, personil keamanan Hamas mengepung tempat dimana Johnston ditawan, membebaskannya, dan menahan beberapa pengikut Momtaz Deghmesh, pemimpin “Jays al-Islam”[].

Lalu apa yang diinginkan Abbas dengan tuduhan terhadap Hamas tersebut? Tidak terlalu sulit untuk mengatakan bahwa Abbas sedang menjalankan perannya sebagai proksi AS dan Israel guna “meng-iblis-isasi” Hamas dan Jalur Gaza lewat, sekali lagi, dagelan bernama al-Qaida. Dengan propaganda tersebut, AS berharap dunia bisa menerima jika Gaza diisolasi dari segala arah dan pasukan Zionis melumat wilayah kecil itu beserta para penghuninya. Bukankah mereka semua teroris?

Dan, al-Qaida—entah disadari atau tidak—sekali lagi punya peran sentral dalam rencana tersebut.

Al-Qaida memainkan peran kunci dalam kepentingan strategis kaum neokon AS, sebagian besarnya, karena al-Qaida berbeda dengan Hizbullah dan Hamas [[16]]. Pertama, al-Qaida dilahirkan dari rahim imperialisme. Pembentukan embrio al-Qaida terjadi melalui kolaborasi antara CIA (intelijen AS) dan ISI (Intelijen Pakistan) [], saat AS berupaya mengusir mendiang Soviet dari Afghanistan. Sedangkan Hizbullah lahir dari rahim perjuangan rakyat Lebanon mengusir Israel ketika invasi pasukan Zionis menyerang negeri itu pada 1982. Dan, Hamas pun lahir dari rahim intifada jilid II pada sekitar 1980-an. Kedua, Hizbullah dan Hamas sama-sama menghadapi musuh yang jelas, imperium Judea-Amerika, sementara al-Qaida, bak seekor banteng aduan yang gelap mata, menghantam dan menyerang siapa pun: memenggal para turis dalam rekaman video; memicu konflik sektarian; membom tempat-tempat ibadah dan membantai para peziarah. Ketiga, al-Qaida adalah hantu (atau mungkin lebih tepatnya sekumpulan pengecut) yang tak pernah nyata di hadapan umat, sementara Hamas dan Hizbullah hadir riil di tengah-tengah umat dengan serenteng aktivitas sosial-keumatan. Bagi Hamas dan Hizbullah, persatuan dan pembedayaan rakyat di negeri masing-masing adalah senjata paling ampuh dalam menghadapi imperialisme, sementara al-Qaida hanya peduli pada tiga kata: hancurkan, hancurkan, dan hancurkan.

Jika demikian, tampaknya al-Qaida layak menerima cinta dan kekaguman sejati (dan tentu saja rahasia) dari Bush dan para “bushes”. “Bravo” al-Qaida!




[1] http://news.yahoo.com/s/ap/20070708/ap_on_re_mi_ea/iraq_al_qaida_1

[2] http://www.cnn.com/2006/WORLD/meast/07/02/binladen.message/index.html

[3] http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A6581-2004Jun25.html

[4] http://www.newsroomamerica.com/usa/story.php?id=381876

[5] http://www.campaigniran.com/casmii/index.php?q=node/2543

[6] http://www.truthout.org/docs_2006/022507Z.shtml

[7] http://www.ynetnews.com/articles/0,7340,L-3396525,00.html

[8] http://vineyardsaker.blogspot.com/2007/07/imperial-senate-in-delusional-unanimity.html

[9] http://www.presstv.com/detail.aspx?id=16701&sectionid=351020201

[10] http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=6021

[11] http://www.basicint.org/pubs/Papers/iran03.pdf

[12] http://www.csmonitor.com/2007/0503/p01s04-wome.html

[13] Lihat laporan Human Rights Watch edisi Oktober 2005, Volume17, No. 9 (E)

[14] http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/4776578.stm

[15] http://weekly.ahram.org.eg/2007/853/re62.htm

[16] Analisis lebih lengkap tentang bagaimana al-Qaida memainkan peran kunci dalam rencana “perang global” AS, silakan rujuk makalah presentasi Profesor Michel Chossudovsky pada The International Citizens Inquiry into 9/11, di Toronto, pada 25-30 Mei 2004. [http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=6307]

[17] http://kurtnimmo.com/?p=919

Selasa, 25 November 2008

Ibnu Abdil Wahhab: Syi’ah Kafir karena menolak khilafah Abu bakar!


Setelah mengklaim bahwa Imam Ali as. tidak pernah memprotes pembaiatan atas Abu Bakar dan setelah mengatakan bahwa hadis Ghadir sama sekali tidak menujukkan hak kewailan Ali, sebab jika demikian pastilah Ali mengklaimnya… dan setelah mengatakan bahwa jika Ali meyakininya namun ia membiarkan haknya dirampas maka itu artinya kaum Syi’ah menuduh Ali sebagai pengecut, bahkan berkhianat … Setelah itu semua, Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb menuduh kaum Syi’ah telah menganggap para sahabat yang telah membaiat Abu Bakar sebagai orang-oarng fasiq, sementara itu yang membaiat Abu Bakar adalah para sahabat termasuk Ali dan Ahlulbait as., dan mereka itu (para sahabat) adalah sebaik-baik generasi, khaira ummatin yang dipersembahkan untuk umat manusia…. Dan dari itu semua ia menyimpulkan bahwa Syi’ah telah kafir, sebab mereka meyakini sesuatu yang menyalahi Al Qur’an dan hadis-hadis shahih tentang kekhalifahan Abu Bakar serta ijmâ’ para sahabat! Kemudian ia menyebutkan berbagai hadis yang dalam hematnya merupakan bukti nyata kekhalifahan Abu Bakar.

Demikianlah Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb membangun pandangannya.

Perhatikan apa yang ditulis Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dalam kaitan ini:

ومنها إنكارهم صحة خلافة الصدّيق رضي الله عنه، وإنكارها يستلزم تفسيق من بايعه واعتقد خلافته حقاً ، وقد بايعه الصحابة رضي الله عنهم حتى أهل البيت كعلي رضي الله عنه، وقد اعتقدها حقاً جمهور الأمة…

“Dan di antara kesesatan Syi’ah adalah mereka pengingkaran mereka atas kekhalifahan ash Shiddiq ra., dan pengingkaran mereka itu meniscayayakan menuduh fasiq mereka yang membaiatnya dan meyakini keabsahan khilafahnya. Dan para sahabat ra. telah membaiatnya, bahkan Ahlulbait seperti Ali ra. telah membaiatnya pula dan jumhur umat telah meyakini kebenarannya…..”

Kemudian ia mulai berhujjah bahwa menuduh para sahabat telah fasiq itu meyalahi ayat yang menegaskan bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi! Lalu bagaimana mereka itu dituduh telah merampas posisi paling agung dari Ahlulbait as. Hal demikian jelas-jelas meyalahi Kitab Allah. Kemudian ia menvonis dengan kata-katanya:

ومن إعتقد ما يخالف كتاب الله فقد كفر

“Dan barang siapa meyakini sesuatu yang menyalahi Kitab Allah maka ia telah kafir!”

Ibnu al Ja’fari berkata:

Pertama-tama perlu disadari bahwa menggunakan bahasa provokatif dalam menelaah masalah-masalah khilafiyah yang telah menjadi ajang perselisihan di antara ulama Islam tidak akan membawa manfa’at, sebab watak permasalahan tersebut tidak membutuhkan bahasa-bahasa seperti itu! Akan tetapi ia perlu dikaji dengan pikiran jernih dan dengan mengedepankan bukti-bukti otentik serta dalil-dalil yang memenuhi standar ilmiah.

Masalah Khilafah Adalah Bagian Dari Furû’uddîn

Sesuatu yang penting dihadirkan dalam setiap diskusi-diskusi seputar masalah Khilafah ialah bahwa dalam pandangan para teoloq Ahlusunnah telah disepakati bahwa masalah Khilafah adalah termasuk bagain Furû’uddin, ia bukan bagian Ushûluddîn yang harus diyakini oleh setiap Muslim!

Jadi, semestinya tidak perlu ada hiruk-pikuk di seputar masalah ini, apakah kelompok A atau B meyakini keabsahan kekhalifahan Abu Bakar atau kekhalifahan Yazid atau kekhalifahan Umar ibn Abdul Aziz atau kekhalifahan Harun ar Rasyîd atau kekhalifahan Sultan Hamid, dll atau tidak meyakininya!

Masalah Khilafah sama sekali bukan masalah serius dan urgen dalam hemat para ulama Ahlusunnah, sehingga harus dikategorikan masalah Ushûddîn/sendi-sendi agama yang pokok. Lalu mengapa dalam praktiknya mereka mempolitisir masalah ini sedemikian rupa sehingga dijadikan senjata pengkafiran?!

Bagi Anda yang sedikit gemar menelaah buku-buku Teoloqi Sunni pasti mengenal dengan baik sikap para ulama Ahlusunnah dalam masalah ini.

Di bawah ini saya bantu Anda untuk menulusurinya.

Al Ghazali berkata, “Ketahuilah, bahwa meneliti masalah Imamah bukanlah hal penting dan bukan permasalahan aqliah, ia adalah masalah fiqhiyah…”.[1]

Al Amidi berkata, “Ketahuilah bahwa persoalan imamah bukanlah termasuk Ushûluddîn, dan bukan pula perkara yang keharusan di mana seorang mukallaf tidak dibenarkan berpaling darinya dan tidak mengerti tentangnya… .“[2]

At Taftazâni berkata, “Imamah bukan termasuk Ushûluddîn dan masalah akidah, berbeda dengan Syi’ah. Akan tetapi ia menurut kita (Ahlusunnah) termasuk furû’ yang terkait dengan tindakan para mukallaf, sebab pengangkatan imamah menurut kami (Ahlusunnah) wajib atas umat berdasarkan dalil nagli… .”[3]

Ibnu Ruzbahân mengatakan dalam bantahannya terhadap Allamah al Hilli ra., ”Ketahuilah bahwa Imamah menurut kelompok al Asy’ariyah bukan termasuk Ushuludiyanât dan dasar akidah, akan tetapi ia menurut mereka adalah termasuk furû’ yang berkaitan dengan tindakan kaum mukallaf.”[4]

Jadi di sini Anda berhak terheran-heran dari sikap sebagian kalangan yang menjadikan keyakinan akan keabsahan kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman sebagai penentu keimanan dan keislaman seorang atau sebuah komunitas! Hal itu bisa jadi dipicu oleh kejahilan mereka akan prinsip-prinsip dasar Mazhab Ahlusunnah sendiri. Atau jangan-jangan karena ada pesan sponsor!

Selain itu, data-data sejarah telah cukup membuktikan bahwa di antara para sahabat Nabi saw. tidak sedikit yang menentang kekahilfahan Abu Bakar dan tidak mengakui hasil pembaiatan yang berlangsung di pendopo, Saqifah bani Sâ’idah itu!

Seperti telah Anda baca bersama bagaimana Imam Ali as. menolak memberikan baiat dan mengakui hasil pembaiatan atas Abu Bakar! Demikian juga, dengan keluarga besar bani Hasyim dan para pengikut setia Imam Ali as. selama enam bulan[5], kendati pada akhirnya beliau berdamai dan memberikan baiat untuk Abu Bakar.

Akan tetapi sejarah mencatat bahwa di antara para sahabat Nabi saw. ada yang hingga wafat menjemputnya tetap bersikeras menolak untuk mengakui kekhalifahan Abu Bakar, seperti Sa’ad ibn Ubadah –pemimpin suku Khazraj-, seperti diakui oleh Ibnu Taimiyyah –panutan utama kaum Wahhabi- dalam Minhâj as Sunnah-nya[6]dan putra-putranya, dan putri tercinta Rasulullah saw.; sayyidatuna Fatimah az Zahrâ’ as….

Lalu apakah kita akan mengatakan bahwa putri tercinta Rasulullah saw. telah kafir dikarenakan tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar?! Lalu apakah Sa’ad ibn Ubadah divonis kafir kerena menentang kekhalifahan Abu Bakar dan Umar?!

Sepertinya kita perlu bersikap arif dan berhati-hati dalam melontarkan vonis-vonis berbahaya seperti itu!

Tidak Ada Ijmâ’ Dalam Pengangkatan Abu Bakar!

Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb berusaha mengatakan –walaupun harus mengabaikan data-data akurat sejarah- bahwa pembaiatan atas Abu Bakar telah meraih suara bulat dan ijmâ’ dari para sahabat!

Akan tetapi riwayat-riwayat para muhaddis Ahlusunnah, khususnya Bukhari dan Muslim telah membohongkan anggapan tersebut. Sebab terbukti bahwa Imam Ali as. dan banyak sabahat lainnya yang menentangnya dan tidak sudi memberikan baiat mereka untuk Abu Bakar!

Memang tidak sedikit mereka yang berusaha mengangkat ijmâ’sebagai bukti keabsahan kekhalifaha Abu Bakar, akan tetapi ijmâ’ fiktif tersebut tidak pernah terjadi, yang terjadi justru sebaliknya. Seperti sudah dan akan saya buktikan pada lembaran-lembaran akan datang insyaallah.

Ketika menegakkan bukti keabsahan Khilafah Abu Bakar, al Qusyji mewakili pandangan Ahlusunnah mengatakan demikian, “Al Maqshad Keempat tentang Imam (Khalifah) yang haq sepeninggal Rasulullah saw.. menurut kami (Ahlusunnah) adalah Abu Bakar, sedangkan menurut Syi’ah adalah Ali ra.

Dalil kami adalah dua:

Pertama: Cara penunjukan seorang Imam (Khalifah) bisa dengan nash (penunjuan langsung) bisa dengan ijmâ’. Adapun nash sama sekali tidak ada,[7] seperti akan dijelaskan nanti, sedangankan ijmâ’ tidak terjadi untuk selain Abu Bakar secara aklamasi.

Kedua: Ijmâ’ terjadi atas kebenaran salah satu dari tiga calon, Abu Bakar, Ali atau Abbas, kemudian mereka berdua tidak menentang Abu Bakar, andai ia tidak berada di atas kebenaran pastilah keduanya menentangnya… [8]

Akan tetapi klaim terjadinya Ijmâ’ sama sekali tidak mampu mereka buktikan, oleh karena itu mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ijmâ’atas Khilafah Abu Bakar tidak berarti seluruh sahabat bersepakat atasnya, akan tetapi yang dimaksud dengannya ialah bahwa Khilafah Abu Bakar sah dengan pembaiatan segelintir rekan-rekan Abu Bakar sendiri, bahkan ada yang mengatakan dengan hanya baiat yang diberikan Umar seorang!

Dari sini dapat dimengerti mengapa para Teoloq Ahlusunnah tidak mensyaratkan ijmâ’ dalam keabsahan kekhalifahan seorang. Dalam pembahasan, maqshad ketiga, Qadhi al Îji mengatakan, “Al Maqshad ketiga, tentang sistem yang dengannya kekhalifahan sah. Ia dapat sah dengan nash (penunjukan) oleh Rasulullah saw. atau Khalifah sebelumnya berdasarkan ijmâ’, dan juga dengan baiat oleh Ahlul Halli wa Al ‘Aqdi, berbeda dengan pendapat Syi’ah…

Maka jika telah terbukti Khilafah dapat ditegakkan dengan pemilihan dan baiat maka ketahuilah bahwa pemilihan dan baiat itu tidak membutuhkan ijmâ’/kesepakatan seluruh mereka, sebab tidak ada dalil yang menunjukan akan hal itu, baik dalil aqli maupun naqli. Bahkan para sahabat mencukupkan dengan baiat seorang atau dua orang saja dari anggota Ahlul Halli wa Al ‘Aqdiseperti penetapan hak kekhalifahan Abu Bakar oleh Umar .“[9]

Jadi, dimanakah dapat kita temukan adanya ijmâ’ yang mereka klaim tersebut?!

Memang aneh anggapan mereka yang mangatakan bahwa urusan pengangkatan seorang Khalifah diserahkan kepada umat, kemudian mereka mempersempit pengertian umat hanya dengan Ahlul Halli wa Al ‘Aqdi saja (tentunya dengan berbagai kerancuan yang terdapat di dalamnya), kemudian mereka makin menyederhakannya dengan mengatakan bahwa baiat yang diberikan oleh seorang saja dari anggota Ahlul Halli wa Al ‘Aqdi sudah cukup melegalitas kekhalifahan seorang! Seperti yang terjadi pada kasus pengangkatan Abu Bakar oleh Umar seorang!

Lalu bagaimana sekarang mereka mewajibkan atas seluruh umat Islam untuk meyakini kekhalifahan seorang yang tidak pernah ditunjuk oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak juga disepakati oleh umat Islam… semua itu hanya karena ia (sang Khalifah itu) telah sah dengan dasar baiat yang diberikan oleh satu atau dua orang saja! Subhanallah! Renungkan poin ini baik-baik!!


[1] Al Mawaqif :395 .

[2] Ghayah al Maram Fi ‘Ilmi al- Kalam :363.

[3] Syarh al Mawaqif,8\344 .

[4] Ibthâl Nahjil Bathil (Lihat Dalâ’il ash Shidq, 2\8) .

[5] Târikh ath Thabari,3/208 dan al Kâmil fi at Târikh,2,331.

[6] Minhâj as Sunnah,4/121.

[7] Penegasan di atas penting untuk selalu diingat!

[8] Al Mawâqif Fi Ilmi al Kalâm; Qadhi ‘Adhududdîn Abdurahman ibn Ahmad al Îji:400. cet. ‘Alamul Kotob, Bairut.

[9]Ibid.