Jumat, 26 September 2008

Transkrip Dialog Larry King – Ahmadinejad (bag 1)
Larry King: Tuan Presiden, terima kasih atas kedatangan Anda. Anda senang datang ke New York?


Mahmoud Ahmadinejad [MAN] (melalui penerjemah) : Dengan Nama Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Baik, ini adalah kantor pusat PBB. Adalah penting bahwa kami datang ke sini dengan para pemimpin negara dan untuk mendorong kerja sama yang diperlukan bagi manajemen urusan dunia sekarang. Tentu saja, saya sangat tertarik untuk berbicara dengan bangsa Amerika.


LK : Tetapi, ada semacam perselisihan di antara negeri, atau setidaknya para pemimpin dari negeri tersebut. Apakah Anda mengira bahwa Anda bisa melakukan langkah-langkah maju dalam hal itu?


MAN : Ya, tentu saja, perselisihan bukanlah tujuan kita. Sampai sekarang, kami senantiasa tertarik dalam menjalin hubungan persahabatan. Perselisihan adalah satu sis pada pihak politisi Amerika. Sementara, bangsa kami senantiasa membela diri terhadap perselisihan tersebut.


Tapi jelaslah, bangsa-bangsa tidak punya masalah apa pun satu sama lain. Dan kami tidak punya masalah apa pun dengan warga Amerika. Namun ketika pemerintah Amerika menggunakan bahasa kekuatan, kami tidak punya pilihan selain mempertahankannya. Kami telah melakukan banyak hal. Jika Anda ingat, saya pernah berkirim kepada Tuan Bush. Surat itu awal dari sebuah usaha dan hubungan segar. Kami membantu di Irak untuk membangun keamanan dan kenyamana, juga suatu pemerintahan baru. Saya juga meminta agar kami saling berbicara satu sama lain di PBB.


LK : Presiden tidak membalas surat Anda, bukan?


MAN : Saya kira Tuan Bush mempunyai banyak kesempatan emas, termasuk kesempatan-kesempatan ini dan inisiatif-inisiatif oleh saya.


LK : Tetapi ia meninggalkan jabatan. Anda akan berhubungan dengan presiden baru. Omong-omong, apakah Anda mempunyai preferensi di antara semua kandidat?


MAN : Tidak. Kami tidak punya preferensi karena kami percaya bahwa semua ini terkait dengan urusan dalam negeri AS dan keputusan-keputusan yang berlaku seharusnya dibuat oleh warga Amerika. Dan tidaklah penting bagi kami.


Pada dasarnya, masalahnya adalah bahwa presiden yang dipilih oleh warga Amerika harus memilih sebuah jalan dan pendekatan kebijakan dan bagi kami, melihat pendekatan kebijakan itu.


Ini merupakan periode kampanye. Setiap orang bisa mengatakan apa pun. Kami tidak peduli hal itu. Masalahnya adalah ketika seseorang berada dalam sebuah jabatan, kita harus melihat dan mengamati apakah orang itu akan membuat, menciptakan sejumlah perubahan dalam kebijakan atau melanjutkan metode usang yang lama.


Saya kira hal yang lebih penting ketimbang itu adalah siapa yang sesungguhnya memilih untuk jabatan itu.


LK : Apakah Anda bersedia bertemu dengan Senator McCain atau Senator Obama?


MAN : Saya telah mengatakan bahwa, sebenarnya, pada perjalanan yang sangat singkat ini di New York, saya bersedia berbicara dengan calon-calon presiden di depan pers, dengan kehadiran para anggota pers dan media, serta mendiskusikan masalah-masalah dunia dan mendebat mereka.


Saya percaya bahwa kami telah melakukan apa pun yang kami bisa, dalam hal ini.


LK : Mengapa Anda mengira, mereka tidak ingin berbicara kepada Anda? Mengapa Anda mengira Bush, McCain, Obama, mengapa mereka tidak ingin berbicara dengan Anda?


MAN : Seharusnya Anda bertanya kepada mereka. Jangan bertanya kepada saya.


LK : Anda dianggap sebagai …

MAN : Kita perlu bicara dan dialog.


LK : Tetapi Anda telah dianggap sebagai musuh Negara. Dan banyak hal yang bangsa Amerika cemas dengan hal-hal yang berkaitan dengan Iran.

Anda setuju bahwa Anda adalah, untuk sebuah kata yang lebih baik, figur kontroversial, bukan?


MAN : Negara kami Iran mempunyai suatu catatan sejarah yang panjang yang merentang hingga 7000 tahun dan bangsa Iran tidak pernah mengambil langkah yang salah terhadap bangsa lain. Sepanjang sejarah, ia telah membuktikan bahwa Iran adalah bangsa yang bertujuan untuk perdamaian dan persahabatan dengan bangsa lain.


Perang yang terjadi di sejarah silam, satu-satunya perang yang berkonfrontrasi dengan kita dalam skala besar adalah perang Saddam Hussein terhadap kita. Itu, jika Anda ingat, didukung oleh pemerintah AS dan sejumlah pemerintah Eropa terhadap kita. Apa yang kami lakukan adalah pembelaan diri yang tak bersalah.

Tentu saja, saya akan selalu membela hak-hak setiap bangsa, dengan hak-hak, hak-hak legal dari bangsa saya. Ini adalah tanggung jawab setiap presiden.

Namun pembelaan ini tidak berarti bahwa kita harus melanggar hak-hak bangsa lain.


Anda tahu bahwa sepanjang serangan AS atas Irak, sesungguhnya kami diajak untuk masuk sebagai sekutu atau (terlibat) perang, sampai tingkatan tertentu—bukan koalisi, tetapi perang—hanya agar Saddam melancarkan perang terhadap kami yang sudah berlangsung selama delapan tahun.


Pada dasarnya, itu menyerang balik dan membalas perang, dengan kata lain. Karena itu kami menolak
.

LK : Tapi tidakkah Anda senang, AS membantu dunia memakzulkan Saddam Hussein?


MAN : Bagaimana Anda menafsirkan bentuk pendekatan politik yang berbeda yang pemerintah AS pilih? Dan kadan-kadang semuanya saling bertentangan. Sekarang, selama delapan tahun, Saddam didukung melawan kami. Ia membombardir kota-kota Iran. Ia menggunakan senjata-senjata kimia melawan kami. Sementara, pada saat yang sama, pemerintahan AS mendukung Saddam. Lalu AS pergi dan mengusir Saddam. Barangkali dalam contoh pertama, kami gembira. Tetapi ketika kami menyadari bahwa pemerintahan AS lebih tertarik untuk menetap di Irak dan mendominasi, melalui kehadirannya di Irak, kami, saya bertanya kepada Anda, sudikah Anda bergembira jika Anda berada di dalam sepatu kami menyaksikan ini?


LK : Tuan Presiden, Anda pernah jadi walikota dan kami pun mempunyai mantan walikota, sekarang gubernur, Ny. Palin, yang sekarang calon wakil presiden. Apa pendapat Anda tentang dia? Apakah Anda ingin bertemu dengannya?


MAN : Saya telah katakan kepada Anda bahwa kami telah melakukan apa pun yang kami perlukan sehubungan dengan diskusi ini. Kami mengirim surat kepada Tuan Bush. Kami juga mengundang orang-orang di sini untuk berbicara di Markas Besar PBB. Secara regional, kami membantu dalam menciptakan keamanan dan kenyamanan. Kami rasa ini saat tepat bagi para pejabat Amerika untuk membuat, mengambil langkah-langkah berikutnya.


LK : Tapi Anda ingin bertemu dengannya? Jika ia berkata, “Saya ingin bertemu dengan Anda”, apakah Anda sedia bertemu dengannya?


MAN : Saya akan menunggu dan melihat perkembangan yang terjadi. Sudah tentu, kami tertarik untuk saling berbicara. Kami percaya bahwa melalui dialog dan pembicaraan, segala sesuatu bisa diatasi lebih mudah. Tentu saja, sebuah dialog yang telah diatur oleh sebuah lingkungan yang didasarkan pada penghormatan dan keadilan. Sekarang, apakah Anda yakin bahwa ia akan menjadi presiden?


LK : Tidak, tidak, tidak. Saya berkata ‘ia tengah menuju’. Ia akan menjadi, mungkin wakil presiden.

MAN : Ia ingin menjadi wakil presiden.


LK : Benar. Kalian berdua (pernah) menjadi walikota, bukan? Jadi, kalian punya sesuatu yang sama.


MAN : Saya harap, kami bisa saling berbicara ketika kami berdua sama-sama (masih) walikota (tertawa).


LK : Ok. Salah satu ketakutan besar yang Amerika miliki, dunia miliki tentang Iran, adalah senjata-senjata nuklir. Bisakah Anda mengatakan kepada kami, apa yang Anda tengah lakukan sekaitan dengan senjata-senjata tersebut? Apakah Anda membangun senjata-senjata itu? Apakah status negeri Anda dan senjata-senjata nuklir?


MAN : Sebenarnya Anda telah memunculkan tiga isu. Pertama, Anda katakana bahwa dunia takut pada Iran dan prihatin akan hal itu. Saya bertanya kepada Anda, belahan dunia mana yang kita bicarakan? Apakah AS sama dengan seluruh dunia, sehingga masalah bagi AS menjadi masalah dunia? Ataukah, apakah itu adalah AS dan sekutu-sekutunya? Tentu tidak.

LK : Ya. Barat …


MAN : Tidak benar. Saya katakan kepada ANda. Anda lihat, jika Anda tengah membicarakan Negara-negara Barat, saya harus katakan, keprihatinan kami mereka terhadap kami bukan hal baru. Mereka selalu prihatin. Mereka adalah pihak-pihak yang menginspirasi Saddam untuk menyerang Iran dan mendorong kami terlibat dalam perang delapan tahun. Kelompok teroris yang membunuh presiden, perdana menteri kami, para pejabat kami, sekarang bebas aktif di Negeri-negeri Barat.


Tapi mari saya katakana kepada Anda bahwa Gerakan Non-Blok sesungguhnya telah mendukung gerakan nuklir damai kami. 57 negara anggota Organisasi Konferensi Islam juga memberikan dukungan kepada kami dalam hal ini. Banyak anggota organisasi lainnya, organisasi multilateral yang telah mendukung usaha dan upaya kami.


Jadi, tidak tepat seluruh dunia prihatin pada kami. Ini adalah hal pertama yang harus diklarifikasi.


Hal kedua adalah menyangkut persoalan bom. Kami percaya, sebagai masalah ajaran agama, kami harus menentang segala jenis bentuk senjata pemusnah massal, termasuk senjata-senjata nuklir. Produksi dan penggunaan senjata nuklir termasuk salah satu tindakan yang paling dibenci menurut kami.


Selain itu, kami percaya bahwa bom atom telah kehilangan manfaatnya dalam masalah-masalah politik. Masa untuk bom nuklir sudah berakhir. Barangsiapa yang berinvestasi di di sana tengah memasuki jalan yang keliru.


Apakah bom nuklir mampu menolong seluruh Uni Soviet dan mencegah keruntuhannya? Apakah ia mampu membawa kejayaan bagi Uni Soviet, baik di Afganistan ataupun Irak?


Bisakah ia digunakan untuk tujuan itu? Bisakah bom nuklir menyelamatkan rezim Zionis?


Masa bom itu sudah berakhir. Inilah masa pemikiran, masa bagi kebudayaan, dan alas an untuk eksis.


Ada juga perdebatan ketiga dalam persoalan nuklir. Kita semua menyadari bahwa, pada dasarnya, masalah nuklir menyangkut Iram adalah masalah yang sangat dipolitisir. Sesungguhnya ia benar-benar dipolitisasi. Ia bukan perang hukum sama sekali.


IAEA telah berkunjung, telah menyebutkan lebih dari 12 kali dalam dokumen-dokumennya dan memverifikasi bahwa aktivitas nuklir Iran adalah aktivitas damai. Agensi telah menyebutkan bahwa mereka sebenarnya belum melacak penyimpangan pada pihak Iran. Jadi, saya ingin menambahkan bahwa seluruh aktivitas kita di ranah tersebut betul-betul sah dan damai.


LK : Anda terbuka untuk inspeksi kepada siapa pun yang ingin menginspeksi?


MAN : Jumlah terbesar inspeksi dalam sejarah IAEA telah dilakukan dengan negeri Iran. Kami telah memberikan kepada IAEA jumlah dokumen paling besar dalam sejarahnya. Tak satu negeri pun di dunia telah bekerja sama dengan badan tersebut sebanyak yang telah Iran lakukan.

Dan semua itu diverifikasi.


Tetapi saya ingin bertanya kepada Anda, pada saat yang sama, ada beberapa negara yang memiliki gudang-gudang senjata nuklir dan secara actual mengembangkan sebuah perang nuklir zaman baru. Seharusnya mereka juga diselidiki bukan? Tidakkah Anda mengira bahwa aktivitas mereka seharusnya diarahkan kepada satu tujuan?

Siapakah yang sebenarnya ancaman?


Kami bekerja dengan IAEA, dengan mekanisme pengawasan mereka, sementara IAEA juga telah mengatakan bahwa mereka tidak menemukan dokumentasi apa pun yang menyebutkan bahwa Iran telah menyimpang dari jalan damai atau benar-benar orang yang sedang mengembangkan generasi keempat dan kelima senjata-senjata nuklir dan secara histories telah menggunakan senjata-senjata nuklir.

LK : Well…


MAN : Tidakkah Anda menganggap rezim Zionis perlu sejumlah inspeksi juga? Saya maksud, bukankan di sini ada standar ganda?


LK : Presiden, Anda menyebutkan rezim Zionis. Anda telah menyebut…saya ingin benar dalam hal ini… Anda telah meminta agar Israel dihapus dari peta. Sekarang, karena Anda mengatakan itu, Anda adalah sebuah bangsa damai, Anda tidak memaksudkannya secara militer. Apakah yang maksud ‘menghapus dari peta’ secara politik?


MAN : Saya kira saya harus menjelaskan dua hal di sini. Hari ini menandai tahun keempat dari … saya berkunjung ke kota New York. Dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya adalah pertanyaan-pertanyaan yang sama yang ditanyakan empat tahun silam, sementara dunia telah melewati berbagai perubahan luar biasa dan banyak perkembangan yang telah terjadi sejak itu di AS, di Eropa, dan di mana-mana di seluruh dunia. Perkembangan-perkembangan tersebut adalah baru.


Saya telah menjawab persoalan ini beberapa kali sebelumnya. Faktanya, kami menentang dasar-dasar rezim Zionis disebabkan perdamaian dan keadilan. Kami mencari suatu perdamaian yang mungkin.


Barangkali saja seorang wartawan yang memiliki pengalam bertahun-tahun, Anda harus menyadari apa yang tengah terjadi di Timur Tengah.


Selama lebih dari 60 tahun, lebih dari lima juta orang Palestina telah diusir… orang yang dipaksa keluar dari rumah-rumah mereka.


Sedangkan mereka yang telah berdiam dibombardir setiap hari secara militer. Mereka dibunuh di rumah-rumah mereka. Perempuan dan anak-anak ditawan. Kesehatan, air, dan makanan tidak selalu sampai kepada mereka secara memadai. Anak-anak kehilangan nyawa mereka, sebagaimana perempuan, sebagai akibatnya. Kadang-kadang perempuan meninggal karena melahirkan. Tokoh-tokoh Palestina dibunuh dan itu terus berkembang sampai ke tingkat yang sesungguhnya disiarkan sebelumnya.


Tiga perang bintang dimulai oleh rezim Zionis, yang terakhir adalah pada tahun 2006 ketika mereka menyerang Lebanon.

Jadi kapan bencana ini, katastrof ini berakhir?

Solusi kita adalah solusi kemanusiaan.

LK : Bagaimana?


MAN : Apa yang kami katakan adalah bahwa dalam kawasan Palestina, mesti ada referendum bebas. Bangsa Palestina harus menentukan nasib mereka sendiri. Ini adalah spirit dan memo dari Piagam PBB.

Saya ingin bertanya kepada Anda… Saya ingin bertanya kepada Anda, sebenarnya, bagaimana mungkin memaksa keluar seseorang dari sebuah negeri kemudian mengumpukan orang lain dari seluruh dunia dan membiarkan mereka duduk dan tinggal di rumah-rumah yang lain dan membangun sebuah pemerintahan?


Itu benar-benar suatu logika yang tidak bisa diterima. Apakah yang bangsa Palestina harus lakukan?

LK : Mengapa…?


MAN : Masyarakat dunia yang Amerika klaim, bagaimana bisa tidak mempersonifikasikan suara bangsa Palestina?

LK : Mengapa…?

MAN : Enam puluh tahun pengusiran. (bersambung)


(diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Arif Mulyadhi, Pemred Penerbit Alhuda-ICC).

Rabu, 10 September 2008

Sepuluh Alasan Untuk Tidak Memakai Jilbab


ALASAN I :
Saya belum benar-benar yakin akan fungsi/kegunaan jilbab

Kami kemudian menanyakan dua pertanyaan kepada saudari ini;
Pertama, apakah ia benar-benar percaya dan mengakui kebenaran agama Islam? Dengan alami ia berkata, Ya,sambil kemudian mengucap Laa Ilaa haIllallah! Yang menunjukkan ia taat pada aqidahnya dan Muhammadan rasullullah! Yang menyatakan ia taat pada syariahnya. Dengan begitu ia yakin akan Islam beserta seluruh hukumnya.

Kedua, kami menanyakan; Bukankah memakai jilbab termasuk hukum dalam Islam? Apabila saudari ini jujur dan dan tulus dalam ke-Islamannya, ia akan berkata; Ya, itu adalah sebagian dari hukum Islam yang tertera di Al-Quran suci dan merupakan sunnah Rasulullah SAW yang suci.

Jadi kesimpulannya disini, apabila saudari ini percaya akan Islam dan meyakininya, mengapa ia tidak melaksanakan hukum dan perintahnya?

ALASAN II :
Saya yakin akan pentingnya jilbab namun Ibu saya melarangnya, dan apabila saya melanggar ibu, saya akan masuk neraka.

Yang telah menjawab hal ini adalah ciptaan Allah Azza wa Jalla termulia, Rasulullah SAWW dalam nasihatnya yang sangat bijaksana; “Tiada kepatuhan kepada suatu
ciptaan diatas kepatuhan kepada Allah SWT.” (Ahmad)Sesungguhnya, status orangtua dalam Islam, menempati posisi yang sangat tinggi dan terhormat. Dalam sebuah
ayat disebutkan; “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang Ibu Bapak . . ” (QS.An-Nisa:36). Kepatuhan terhadap orangtua tidak terbatas kecuali dalam satu aspek, yaitu apabila berkaitan dengan kepatuhan kepada Allah SWT. Allah berfirman; “dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…” (QS. Luqman : 15)

Berbuat tidak patuh terhadap orangtua dalam menjalani perintah Allah SWT tidak menyebabkan kita dapat berbuat seenaknya terhadap mereka. Kita tetap harus hormat dan menyayangi mereka sepenuhnya. Allah berfirman di ayat yang sama; “dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.”

Kesimpulannya, bagaimana mungkin kamu mematuhi ibumu namun melanggar Allah SWT yang menciptakan kamu dan ibumu.

ALASAN III :
Posisi dan lingkungan saya tidak membolehkan saya memakai jilbab.

Saudari ini mungkin satu diantara dua tipe: dia tulus dan jujur, atau sebaliknya, ia seorang penipu yang mengatasnamakan lingkungan pekerjaannya untuk tidak memakai jilbab. Kita akan memulai dengan menjawab tipe dia adalah wanita yang tulus dan jujur.

“Apakah anda tidak tidak menyadari saudariku tersayang, bahwa wanita muslim tidak diperbolehkan untuk meninggalkan rumah tanpa menutupi auratnya dengan hijab dan adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk mengetahuinya? Apabila engkau, saudariku, menghabiskan banyak waktu dan tenagamu untuk melakukan dan mempelajari berbagai macam hal di dunia ini, bagaimana mungkin engkau dapat sedemikian cerobohnya untuk tidak mempelajari hal-hal yang akan menyelamatkanmu dari kemarahan Allah dan kematianmu?”

Bukankah Allah SWT telah berfirman; “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan,jika kamu tidak mengetahui” (QS An-Nahl : 43).
Belajarlah untuk mengetahui hikmah menutup auratmu.
Apabila kau harus keluar rumahmu, tutupilah auratmu dengan jilbab, carilah kesenangan Allah SWT daripada kesenangan syetan. Karena kejahatan dapat berawal dari pemandangan yang memabukkan dari seorang wanita.

Saudariku tersayang, apabila kau benar-benar jujur dan tulus dalam menjalani sesuatu dan berusaha, kau akan menemukan ribuan tangan kebaikan siap membantumu, dan Allah SWT akan membuat segala permasalahan mudah untukmu. Bukankah Allah SWT telah berfirman;
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya..” (QS. AtTalaq :2-3).

Kedudukan dan kehormatan adalah sesuatu yang ditentukan oleh Allah SWT. Dan tidak bergantung pada kemewahan pakaian yang kita kenakan, warna yang mencolok, dan mengikuti trend yang sedang berlaku. Kehormatan dan kedudukan lebih kepada bersikap patuh pada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW, dan bergantung pada hukum Allah SWT yang murni.

Dengarkanlah kalimat Allah; “sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu..” (QS. Al- Hujurat:13).

Kesimpulannya, lakukanlah sesuatu dengan mencari kesenangan dan keridhoan Allah SWT, dan berikan harga yang sedikit pada benda-benda mahal yang dapat menjerumuskanmu.

ALASAN IV :
Udara di daerah saya amatlah panas dan saya tidak dapat menahannya. Bagaimana mungkin saya dapat mengatasinya apalagi jika saya memakai jilbab.

Allah SWT memberikan perumpamaan dengan mengatakan; “api neraka jahannam itu lebih lebih sangat panas(nya)jikalau mereka mengetahui..” (QS At-Taubah : 81)
Bagaimana mungkin kamu dapat membandingkan panas di daerahmu dengan panas di neraka jahannam? Sesungguhnya saudariku, syetan telah mencoba membuat talli besar untuk menarikmu dari panasnya bumi ini kedalam panasnya suasana neraka.

Bebaskan dirimu dari jeratannya dan cobalah untuk melihat panasnya matahari sebagai anugerah, bukan kesengsaraan. Apalagi mengingat bahwa intensitas hukuman dari Allah SWT akan jauh lebih berat dari apa yang kau rasakan sekarang di dunia fana ini.
Kembalilah pada hukum Allah SWT dan berlindunglah dari hukuman-Nya, sebagaimana tercantum dalam ayat; “mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula
mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah” (QS. AN-NABA 78:24-25).

Kesimpulannya, surga yang Allah SWT janjikan, penuh dengan cobaan dan ujian. Sementara jalan menuju neraka penuh dengan kesenangan, nafsu dan kenikmatan.

ALASAN V :
Saya takut, bila saya memakai jilbab sekarang, di lain hari saya akan melepasnya kembali, karena saya melihat banyak sekali orang yang begitu.

Kepada saudari itu saya berkata, “apabila semua orang mengaplikasikan logika anda tersebut, mereka akan meninggalkan seluruh kewajibannya pada akhirnya nanti!
Mereka akan meninggalkan shalat lima waktu karena mereka takut tidak dapat melaksanakan satu saja waktu shalat itu. Mereka akan meninggalkan puasa di bulan ramadhan, karena mereka tekut tidak dapat menunaikan satu hari ramadhan saja di bulan puasa, dan seterusnya. Tidakkah kamu melihat bagaimana syetan telah menjebakmu lagi dan memblokade petunju bagimu?

Allah SWT menyukai ketaatan yang berkesinambungan walaupun hanya suatu ketaatan yang sangat kecil atau dianjurkan. Lalu bagaimana dengan sesuatu yang benar-benar diwajibkan sebagaimana kewajiban memakai jilbab? Rasulullah SAWW bersabda; “Perbuatan yang paling dicintai Allah adalah perbuatan mulia yang terus menerus, yang mungkin orang lain anggap kecil.”

Mengapa kamu saudariku, tidak melihat alasan mereka yang dibuat-buat untuk menanggalkan kembali jilbab mereka dan menjauhi mereka? Mengapa tidak kau buka tabir kebenaran dan berpegang teguh padanya?
Allah SWT sesungguhnya telah berfirman; “maka kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang dimasa itu, dan bagi mereka yang datang di masa kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. AL BAQARAH 2:66)

Kesimpulannya, apabila kau memegang teguh petunjuk dan merasakan manisnya keimanan, kau tidak akan meninggalkan sekali pun perintah Allah SWT setelah kau melaksanakannya.

ALASAN VI :
Apabila saya memakai jilbab, maka jodohku akan sulit,jadi aku akan memakainya nanti setelah menikah.

Saudariku, suami mana pun yang lebih menyukaimu tidak memakai jilbab dan membiarkan auratmu di depan umum, berarti dia tidak mengindahkan hukum dan perintah Allah SWT dan bukanlah suami yang berharga sejak semula. Dia adalah suami yang tidak memiliki perasaan untuk melindungi dan menjaga perintah Allah SWT, dan jangan pernah berharap tipe suami seperti ini akan menolongmu menjauhi api neraka, apalagi memasuki surga Allah SWT. Sebuah rumah yang dipenuhi dengan ketidak- taatan kepada Allah SWT, akan selalu menghadapi kepedihan dan kemalangan di dunia kini dan bahkan di akhirat nanti.

Allah SWT bersabda; “dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS. TAHA 20:124)

Pernikahan adalah sebuah pertolongan dan keberkahan dari Allah SWT kepada siapa saja yang Ia kehendaki.
Berapa banyak wanita yang ternyata menikah sementara mereka yang tidak memakai jilbab tidak? Apabila kau, saudariku tersayang, mengatakan bahwa ketidak-tertutupanmu kini adalah suatu jalan menuju sesuatu yang murni, asli, yaitu pernikahan. Tidak ada ketertutupan. Saudariku, suatu tujuanyang murni, tidak akan tercapai melalui jalan yang tidak murni dan kotor dalam Islam. Apabila tujuannya bersih dan murni, serta terhormat, maka jalan menuju kesana pastilah harus dicapai dengan bersih dan murni pula. Dalam syariat Islam kita menyebutnya : Alat atau jalan untuk mencapai sesuatu, tergantung dari peraturan yang ada untuk mencapai tujuan tersebut.

Kesimpulannya, tidak ada keberkahan dari suatu perkawinan yang didasari oleh dosa dan kebodohan.

ALASAN VII :
Saya tidak memakai jilbab berdasarkan perkataan Allah SWT : “dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”(QS.Ad-Dhuhaa 93: 11). Bagaimana mungkin saya menutupi anugerah Allah berupa kulit mulus dan rambutku yang indah?

Jadi saudari kita ini mengacu pada Kitab Allah selama itu mendukung kepentingannya dan pemahamannya sendiri ! ia meninggalkan tafsir sesungguhnya dibelakang ayat itu apabila hal itu tidak menyenangkannya. Apabila yang saya katakan ini salah, mengapa saudari kita ini tidak mengikuti ayat : “janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang nampak daripadanya” (QS An-Nur 24: 31] dan sabda Allah SWT: “katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya..” (QS Al-Ahzab 33:59). Dengan pernyataan
darimu itu, saudariku, engkau telah membuat syariah sendiri bagi dirimu, yang sesungguhnya telah dilarang oleh Allah SWT, yang disebut at-tabarruj dan as-sufoor. Berkah terbesar dari Allah SWT bagi kita adalah iman dan hidayah, yang diantaranya adalah menggunakan hijab. Mengapa kamu tidak mempelajari dan menelaah anugerah terbesar bagimu ini?

Kesimpulannya, apakah ada anugerah dan pertolongan terhadap wanita yang lebih besar daripada petunjuk dan hijab?

ALASAN VIII :
Saya tahu bahwa jilbab adalah kewajiban, tapi saya akan memakainya bila saya sudah merasa terpanggil dan diberi petunjuk olehNya.

Saya bertanya kepada saudariku ini, rencana atau langkah apa yang ia lakukan selama menunggu hidayah, petunjuk dari Allah SWT seperti yang dia katakan? Kita mengetahui bahwa Allah SWT dalam kalimat-kalimat bijak-Nya menciptakan sebab atau cara untuk segala sesuatu. Itulah mengapa orang yang sakit menelan sebutir obat untuk menjadi sehat, dan sebagainya.

Apakah saudariku ini telah dengan seluruh keseriusan dan usahanya mencari petunjuk sesungguhnya dengan segala ketulusannya, berdoa, sebagaimana dalam surah Al-Fatihah 1:6 “Tunjukilah kami jalan yang lurus” serta berkumpul mencari pengetahuan kepada muslimah-muslimah lain yang lebih taat dan yang menurutnya telah diberi petunjuk dengan menggunakan jilbab?

Kesimpulannya, apabila saudariku ini benar-benar serius dalam mencari atau pun menunggu petunjuk dari Allah SWT, dia pastilah akan melakukan jalan-jalan menuju pencariannya itu.

ALASAN IX :
Belum waktunya bagi saya. Saya masih terlalu muda untuk memakainya. Saya pasti akan memakainya nanti seiring dengan penambahan umur dan setelah saya pergi haji.

Malaikat kematian, saudariku, mengunjungi dan menunggu di pintumu kapan saja Allah SWT berkehendak.
Sayangnya, saudariku, kematian tidak mendiskriminasi antara tua dan muda dan ia mungkin saja datang disaat kau masih dalam keadaan penuh dosa dan ketidaksiapan Allah SWT bersabda;
“tiap umat mepunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya” (QS Al-An’aam 7:34] saudariku tersayang, kau harus berlomba-lomba dalam kepatuhan pada Allah SWT; “berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumu..” (QS Al-Hadid 57:21)
saudariku, jangan melupakan Allah SWT atau Ia akan melupakanmu di dunia ini dan selanjutnya. Kau melupakan jiwamu sendiri dengan tidak memenuhi hak jiwamu untuk mematuhi-Nya. Allah mengatakan tentang orang-orang yang munafik, “dan janganlah kamu seperti orang- orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri” (QS Al-Hashr 59: 19)

saudariku, memakai jilbab di usiamu yang muda, akan memudahkanmu. Karena Allah SWT akan menanyakanmu akan waktu yang kau habiskan semasa mudamu, dan setiap waktu dalam hidupmu di hari pembalasan nanti.

Kesimpulannya, berhentilah menetapkan kegiatanmu dimasa datang, karena tidak seorang pun yang dapat menjamin kehidupannya hingga esok hari.

ALASAN X :
Saya takut, bila saya memakai jilbab, saya akan di-cap dan digolongkan dalam kelompok tertentu! Saya benci pengelompokan!

Saudariku, hanya ada dua kelompok dalam Islam. Dan keduanya disebutkan dalam Kitabullah. Kelompok pertama adalah kelompok / tentara Allah (Hizbullah) yang diberikan pada mereka kemenangan, karena kepatuhan mereka. Dan kelompok kedua adalah kelompok syetan yang terkutuk (hizbush-shaitan) yang selalu melanggar Allah SWT. Apabila kau, saudariku, memegang teguh perintah Allah SWT, dan ternyata disekelilingmu adalah saudara-saudaramu yang memakai jilbab, kau tetap akan dimasukkan dalam kelompok Allah SWT. Namun apabila kau memperindah nafsu dan egomu, kau akan mengendarai kendaraan Syetan, seburuk-buruknya teman.

KESIMPULAN

Tubuhmu, dipertontonkan di pasar para syetan dan merayu hati para pria. Model rambut, pakaian ketat yang mempertontonkan setiap detail tubuhmu, pakaian-pakaian pendek yang menunjukkan keindahan kakimu, dan semua yang dapat membangkitkan amarah Allah SWT dan menyenangkan syetan. Setiap waktumu yang kau habiskan dalam kondisi ini, akan terus semakin menjauhkanmu dari Allah SWT dan semakin membawamu lebih dekat pada syetan. Setiap waktu kutukan dan kemarahan menuju kepadamu dari surga hingga kau bertaubat. Setiap hari membawamu semakin dekat kepada kematian. “tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.

Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain dari kesenangan yang memperdayakan” (QS Ali `Imran 3:185).

Naikilah kereta untuk mengejar ketinggalan, saudariku, sebelum kereta itu melewati stasiunmu. Renungkan secara mendalam, saudariku, apa yang terjadi hari ini sebelum esok datang.

Pikirkan tentang hal ini, saudariku, sekarang, sebelum semuanya terlambat !

Senin, 08 September 2008

Lidah Aoun, “Lidah Islam”

Michel Aoun adalah legenda militer Lebanon yang relatif independen. Aoun tak pernah beraliansi dengan kubu mana pun sepanjang karirnya. Senyampang bertempur melawan pasukan Suriah di era 70-an, Aoun juga bersitegang dengan sekutu Amerika/Israel. Netralitas Aoun membuatnya terpental dari politik Lebanon yang sangat bergantung pada patron. Akibatnya, sejumlah pion berkomplot mendepaknya. Tak kurang dari 18 tahun dia harus hidup di Paris sebagai buangan. Pada tahun 2005 dia balik ke Lebanon layaknya macan yang terluka.


Aoun tak perlu banyak berkeringat untuk mengumpulkan kembali para pendukungnya. Basis massanya justru tumbuh pesat saat dia terasing. Popularitasnya di tengah kalangan Kristen terdidik datang dari sikap-sikapnya yang selalu berpihak pada bangsa dan negara—sesuatu yang sama sekali asing bagi sebagian besar politisi Lebanon yang selalu menjadi bidak pihak asing.

Tanggal 7 Agustus kemarin, Aoun maju ke podium parlemen Lebanon dan melontarkan tanggapan fraksinya terhadap pemerintahan baru Lebanon. Suaranya lantang. Berapi-api. Beberapa kali dia kehabisan suara. Tapi usia jenderal yang hampir menyundul kepala tujuh itu sama sekali tak terlihat.

Tanggapan Fraksi Patriot Merdeka yang dia baca hari itu merisaukan banyak orang. Para anggota parlemen yang tak lebih dari bidak-bidak percaturan politik regional dan global bertubi-tubi menghujani Aoun dengan interupsi. Perilaku yang hanya mempertegas posisi mereka sebagai bidak kekuatan asing.

Dalam tanggapan itu, Aoun mengecam negara-negara kaya Arab yang tak pernah mau peduli dengan konflik Arab-Israel. “Tak sekalipun kalian menyingsingkan lengan baju untuk meringankan derita rakyat yang tertindas di Lebanon dan Palestina,” serunya setengah berteriak.

Dia memaki kemunafikan para pemimpin Arab yang siang malam berbicara tentang potensi ancaman Iran, tapi lupa dengan clear and present danger bernama Israel. Menurutnya, pimpinan Arab itu telah kehilangan moral, mengalami disorientasi, picik dan bermufakat jahat dengan kaum imperialis global.

Setelah menghela nafas panjang, Aoun melontarkan sederet pertanyaan ini: “Mengapa kalian bermesraan dengan para pemimpin dunia yang ikut menyengsarakan bangsa-bangsa Arab? Mengapa kalian tak segan bergandeng tangan dengan pendukung utama Israel? Mengapa ada sekitar 12 juta orang Asia yang bekerja di jazirah Arab, sementara kalian telantarkan beberapa juta rakyat Palestina di kamp-kamp pengungsian Lebanon dalam keadaan mengenaskan? Mengapa Kerajaan Arab Saudi yang mengaku sebagai tulang punggung Arab (dan umat Islam) tak mau melepaskan diri dari hegemoni AS? Bukankah Arab Saudi yang secara konsisten merawat dan menggelembungkan bola salju hegemoni AS di kawasan ini?”

Aoun menyebut Arab Saudi sebagai negara Arab dan Islam yang paling banyak memanipulasi isu Palestina, tapi tidak sekali pun menyumbang perlawanan rakyatnya guna merebut hak-haknya yang hilang. Aoun juga mendamprat raja-raja Arab yang dengan mudah mendukung gerakan-gerakan Islam ekstremis yang hanya bisa mengobarkan perang saudara, konflik sektarian dan teror sipil di kawasan Timur Tengah.

“Jadi apa sebenarnya proyek politik kalian di kasawan ini. Apakah kalian memang ingin mengobarkan perang di antara sesama Arab dan Islam demi memelihara alat penjajahan bernama Israel?” Tanya Aoun dengan suara keras.

Sebelum mengakhiri tanggapan fraksinya, Aoun memuji Hizbullah sebagai gerakan Islam dan Arab yang berhasil membangun kesadaran akan identitas sejati bangsa Arab. “Inilah gerakan perlawanan populer yang mempunyai orientasi, strategi dan taktik untuk mengembalikan bangsa Arab pada akar-akar sejarahnya. Gerakan perlawanan ini berhasil membangunkan bangsa kita dari gelapnya mental kalah yang tertanam sejak tahun 1967 akibat kemenangan telak Israel menundukkan 5 negara Arab dalam 6 hari.”

Mungkin kita berpikir bahwa Aoun ingin membalas jasa Hizbullah yang telah membelanya melawan musuh-musuh politiknya dari kalangan Kristen. Mungkin saja dia sedang melampiaskan dendam politiknya pada kalangan Arab yang terlibat mendepaknya. Tapi ada kemungkinan lain yang jauh lebih kuat: Aoun berbicara tentang realitas. Dia berbicara tentang disorientasi, kontradiksi dan kekacauan pilihan politik pimpinan Arab saat ini.

Lebih dari itu, Aoun sebenarnya menangkap realitas yang lebih dalam. Dia melihat di tengah bangsa Arab yang mayoritas beragama Islam itu ada dua model gerakan. Pertama, gerakan Islam yang sama sekali tak punya orientasi dan landasan moral. Aoun tak pernah segan menuding gerakan Islam salafi/wahabi yang disponsori oleh Arab Saudi dan negara-negara Teluk sebagai gerakan yang tak punya tujuan kecuali meniupkan api konflik di dalam masyarakat. Entah api konflik itu membakar tubuh umat Islam sendiri atau menyambar komponen-komponen bangsa lain. Yang jelas, bagi Aoun dan banyak lagi nasionalis Kristen Arab, gerakan Islam model ini tak lebih dari bola api liar.

Kedua, gerakan Islam yang memiliki fokus perlawanan yang jelas, ideologi yang rasional dan strategi yang terukur. Inilah gerakan Islam model Hizbullah. Di mata Aoun dan banyak nasionalis Arab lain, Hizbullah adalah gerakan Islam yang memiliki ideologi terbuka (siap beraliansi dengan penganut agama mana pun), musuh yang jelas (rezim AS dan Israel), strategi perlawanan yang terukur. Khusus menyangkut strategi, misalnya, kita dapat dengan mudah melihat bagaimana Hizbullah tak pernah sudi terlibat konflik internal dengan pihak mana pun di Lebanon. Sebaliknya, gerakan Islam salafi model Fath al-Islam justru menyerang dan menggorok puluhan tentara Lebanon di barak militer Nahr Bared. Padahal, tentara nasional Lebanon adalah simbol persatuan bangsa yang sedang tercabik-cabik itu.

Jelas semua orang waras bakal bertanya-tanya: Untuk apa aksi seperti itu? Bukankah di antara korban itu ada pula yang beragama Islam? Bahkan sekiranya semua itu non-Muslim, apa salah mereka? Mengapa Fath al-Islam tidak langsung saja menyerang tentara Israel yang berada beberapa kilometer dari tempat kejadian?

Itulah sederet pertanyaan yang tak pernah bisa menemukan jawaban di kepala Aoun dan nasionalis Kristen Arab lain. Dan jika kita renungkan sejenak, pertanyaan-pertanyaan itu bukan ada di kepala orang Kristen semata. Semua orang Muslim berakal juga punya pertanyaan-pertanyaan serupa terhadap strategi dan aksi gerakan Islam salafi/wahabi di dunia Islam. Tentu kita tak perlu lagi mengulang segala teori konspirasi di balik peristiwa 11 September yang dibanggakan oleh gerakan-gerakan beraliran Islam salafi/wahabi.

Sebagai Muslim, kita justru harus lebih dalam merenung: Mengapa di dunia Islam ada gerakan model Hizbullah yang mudah mendulang simpati kalangan agama mana pun di dunia ini, dan ada gerakan Al-Qaidah, Fath Al-Islam dan Jund al-Sham yang dikecam oleh hampir semua orang—tak terkecuali umat Islam di luar lingkaran kecil wahabi?

Apakah kita patut menyangka bahwa Hizbullah adalah gerakan Islam yang telah terpengaruh oleh unsur-unsur di luar Islam, atau ia justru merupakan gerakan moral yang sejalan dengan fitrah dan nurani semua manusia?

Mengapa Hizbullah bisa mempunyai tafsir Islam yang lunak, tapi tidak tunduk pada penjajahan? Mengapa Hizbullah bisa berkompromi, tapi tidak hanyut dalam “nikmatnya” ketundukan? Mengapa tafsir Islam Hizbullah itu demikian manusiawi dan sesuai dengan logika kewajaran, tapi juga matang dalam strategi dan organisasi?

Mengapa ada rezim yang memiliki bendera bertuliskan La ilaha illallah, tapi bertumpu pada kekuasaan raja yang secara mutlak ditolak oleh Nabi? Mengapa lantas raja dalam rezim itu tak pernah malu mengibarkan benderanya berdampingan dengan bendera negara yang secara terang-terangan menindas umat Islam?

Mengapa ada sejumlah ulama di Arab Saudi yang berfatwa mengharamkan umat Islam untuk berdoa demi kemenangan Hizbullah yang berperang melawan Israel? Mengapa ada perbedaan begitu nyata antara kedua tafsir Islam ini?

Hizbullah adalah gerakan yang berpijak pada Islam yang wajar, Islam yang sejalan dengan fitrah dan nurani semua orang. Ia tidak mengada-ada, merekayasa isu, menganggap seluruh manusia yang berbeda sebagai ancaman dan menyebar fitnah demi kemenangan sesaat.

Michel Aoun memang bukan orang Islam. Tapi lidahnya berbicara tentang realitas yang sudah seharusnya menjadi lidah semua orang Islam.

DIAM ITU EMAS

Salah satu praktek yang harus ditempuh para sufi dalam perjalanan mereka mendekati Tuhan disebut dengan Al-Shumt. Dalam praktek ini, seorang sufi berusaha mengendalikan lidahnya dengan membiasakan diri untuk banyak diam dan mengurangi pembicaraan.

Dalam kitab Ihyâ ‘Ulûmuddîn, Imam Al-Ghazali menceritakan seorang saleh yang mempunyai kebiasaan untuk bicara hanya setelah salat Isya saja. Kebiasaan ini ia kerjakan selama lebih dari empat puluh tahun. Jika tidak ada hal yang sangat perlu untuk ia bicarakan, ia lebih memilih untuk diam. Dengan ini ia mengurangi pembicaraannya hampir pada tingkat nol.

Menurut Sayyid Haidar Amuli, jika kita menutup mulut untuk tidak bicara, itu berarti kita mengizinkan hati kita untuk bicara lebih banyak. Sebenarnya kita memiliki hati yang selalu mengajak kita berbicara. Salah satu pembicaraan hati adalah mengecam perilaku-perilaku kita yang kurang baik. Seperti disebutkan dalam Al-Quran: Sungguh aku bersumpah demi hati yang selalu mengecam. (QS. Al-Qiyamah: 2)

Hati bisa berbicara. Ketika mulut seseorang terlalu banyak bicara, ia tidak akan dapat mendengar suara hati nuraninya. Suara hatinya tersumbat oleh riuhnya suara-suara mulutnya sendiri.

Tuhan memberikan isyarat-isyarat gaib-Nya kepada kita melalui hati kita. Jika kita terlalu banyak bicara, isyarat-isyarat gaib itu akan terhalang. Dalam Al-Quran, Allah swt menun-jukkan kemurkaan-Nya kepada orang-orang yang berbicara: Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu membicarakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Al-Shaf: 3) Meskipun demikian, dalam Al-Quran juga disebutkan bahwa kemampuan bicara adalah fitrah manusia yang diberikan oleh Allah seperti dinyatakan dalam surat Al-Rahman: Tuhan Yang Mahapemurah, Yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia dan mengajarnya pandai berbicara. (QS. Al-Rahman: 1-4)

Masih dalam Ihyâ Ulûmuddîn, Imam Al-Ghazali mengelompokkan pembicaraan kepada empat macam. Pertama, pembicaraan yang hanya mengandung bahaya saja dan tidak memiliki manfaat. Kedua, pembicaraan yang mempunyai manfaat dan tidak di dalamnya tidak mengandung bahaya. Ketiga, pembicaraan yang selain ada manfaatnya juga ada bahayanya. Keempat, pembicaraan yang tidak mengandung bahaya dan tidak memiliki manfaat.

Pembicaraan yang banyak mengandung bahaya dan tidak memiliki manfaat jelas harus kita hindari. Kita pun harus menghindari pembicaraan yang tidak ada manfaatnya dan tidak ada bahaya-nya. Pembicaraan seperti itu adalah pembicaraan yang berlebihan. Nabi saw bersabda, “Manusia yang paling baik adalah manusia yang memberi-kan kelebihan hartanya dan menahan kelebihan omongannya.”

Jenis pembicaraan yang ketiga, yaitu pembicaraan yang selain ada manfaatnya juga ada bahayanya itu juga lebih baik kita hindari. Sesuai satu dalil dalam Ushul Fiqh yang menyatakan bahwa bahwa bila di dalam satu unsur terdapat bahaya sekaligus manfaat, maka unsur itu harus kita tinggalkan. Misalnya, di dalam rokok terkandung manfaat dan bahaya sekaligus. Yang harus lebih dahulu kita perhatikan adalah bahaya yang terdapat dalam rokok itu. Karena itu, kita tinggalkan rokok. Demikian pula halnya dengan minuman keras. Al-Quran bercerita tentang manfaat yang ada dalam minuman keras namun bahaya yang terdapat di dalamnya lebih besar: Katakanlah pada keduanya itu (khamar dan judi) terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya. (QS. Al-Baqarah: 219)

Imam Al-Ghazali hanya memperbolehkan satu jenis pembicaraan saja; yaitu pembicaraan yang hanya memiliki manfaat dan tidak mengan-dung bahaya.

Keutamaan Diam
Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa yang diam, dia pasti selamat.” Sementara pada waktu lain, Rasulullah saw berkata, “Diam itu kearifan tetapi sangat sedikit orang yang melakukannya.”

Hadis lain yang diriwayatkan dari Abdullah bin Sufyan menceritakan seseorang yang datang menemui Rasulullah saw. Orang itu meminta, ”Wahai Rasulullah, ceritakan kepadaku tentang Islam, yang setelah engkau tiada aku tidak akan bertanya lagi kepada siapa pun.” Nabi menjawab, ”Katakanlah: Kamu beriman kepada Allah lalu beristiqamahlah kamu.” Orang itu bertanya lagi, ”Ya Rasulallah, dari hal apa aku harus berhati-hati?” Rasulullah saw menjawab dengan isyarat tangan yang menunjuk kepada lidahnya.

Uqbah bin Amir pernah bertanya kepada Rasulullah, ”Wahai Rasulallah, apakah arti dari keselamatan itu?” Nabi saw menjawab, ”Kendalikanlah lidah kamu; jadikanlah rumahmu sebagai tempat yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan ketentraman dengan kehadiran orang-orang saleh;, dan menangislah akan kesalahan kamu.”

Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin menjaminkan kepadaku apa yang ada di antara kedua gerahamnya dan apa yang ada di antara kedua kakinya, aku jaminkan bagi dia surga.”

Hadis yang lain meriwayatkan Rasulullah saw berkata, ”Tidak akan lurus iman seseorang sebelum lurus hatinya dan tidak akan lurus hati seseorang sebelum lurus lidahnya. Dan tidak pernah masuk surga seseorang yang tetangganya tidak aman dari gangguan lidahnya.” Orang yang lidahnya senang mengganggu tetangganya diharamkan masuk surga. Di zaman Nabi, suatu hari dilaporkan kepada Nabi perihal seorang perempuan yang kerjanya setiap hari berpuasa dan setiap malam salat tahajud, tetapi perempuan ini sering menyakiti hati tetangganya dengan lidahnya. Rasulullah saw mengatakan, “Dia berada di neraka.”

Seorang Arab dari dusun pernah datang menemui Nabi saw seraya berkata, ”Wahai Rasulullah, tunjukanlah aku kepada satu amal yang bisa memasukkan aku ke dalam surga.” Nabi berkata, ”Berikanlah makanan kepada yang lapar, berikanlah minuman kepada yang dahaga, perintahkan kebaikan, dan larang keburukan. Jika engkau tidak mampu melakukan itu semua, tahan lidahmu kecuali untuk yang baik saja.”

Sebuah hadis yang lain menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Amal yang paling ringan dilakukan tubuh kita adalah diam.” Diam adalah satu-satunya amal yang bentuknya tidak sulit untuk dikerjakan tetapi dalam prakteknya susah untuk dilakukan, padahal diam merupakan amal saleh. Dalam riwayat lain, Rasulullah berkata, ”Selamatnya manusia adalah karena ia memeli-hara lidahnya. Ketergelinciran lidah lebih ber-bahaya daripada luka-luka di dalam tubuh.” Ketergelinciran lidah adalah kebinasaan yang paling berat.

Abdullah bin Mas’ud berkata, ”Demi Allah Yang tiada Tuhan kecuali Dia, tidak ada yang kita perlukan untuk kita penjarakan selama-lamanya selain lisan kita.” Thawus Al-Yamani, salah seorang sufi besar, pernah berkata, “Lidahku adalah binatang buas. Kalau aku lepaskan dia, dia akan memakanku.” Wahab bin Munabbih menyebut-kan, ”Wajiblah buat orang yang berakal untuk bertindak arif dalam mengetahui keadaan zaman-nya dan menjaga lisannya serta memperhatikan urusannya.” Seorang tokoh sufi lain, Hasan Al-Bashri, berkata, ”Belum sempurna agama seseorang sebelum dia menjaga lisannya.”

Dalam Nahjul Balâghah, Imam Ali berkata, ”Al-lisân mîzânul insân. Lidah itulah ukuran manusia.” Dalam riwayat lain, Imam Ali menyebutkan, ”Lisan itu adalah penerjemah hati.” Imam Ali juga berkata, ”Betapa banyaknya darah tertumpah karena lidah; betapa banyaknya manusia yang binasa karena lidahnya; dan betapa banyaknya ucapan yang menyebabkan kamu kehilangan kenikmatan. Maka simpanlah perben-daharaan lidahmu sebagaimana kamu menyim-pan perbendaharaan emas dan uangmu.” Ucapan Imam Ali yang lain tentang hal ini adalah, “Kecela-kaan manusia karena lidahnya dan keselamatan manusia terletak dalam pengendalian lidahnya”

Kejahatan Lidah
Imam Al-Ghazali menyebutkan beberapa kejahatan yang dapat dilakukan oleh lidah kita. Hanya satu cara yang bisa kita lakukan untuk menghindari kejahatan lidah, yaitu dengan jalan diam.

Kejahatan lidah yang pertama adalah berbicara hal-hal yang tidak perlu. Nabi saw bersabda, ”Seseorang tidak dianggap mukmin sebelum dia menghindari segala sesuatu yang tidak perlu baginya.” Ciri seorang muslim yang baik ialah meninggalkan apa yang tidak ber-manfaat darinya.

Anas, seorang sahabat Nabi, bercerita; Suatu hari pada Perang Uhud, aku melihat seorang pemuda yang mengikatkan batu ke perutnya lantaran kelaparan. Ibunya lalu mengusap debu dari wajahnya sambil berkata, ”Semoga surga menyambutmu, wahai anakku.” Ketika melihat pemuda yang terdiam itu, Nabi berkata, ”Tidakkah engkau ketahui mengapa ia terdiam saja? Mungkin ia tidak ingin berbicara yang tidak perlu atau ia menolak dari hal-hal yang membahayakan dirinya.” Dalam riwayat lain, Nabi bersabda, ”Kalau engkau temukan seseorang yang sangat berwibawa dan banyak diamnya, ketahuilah mungkin ia sudah memperoleh hikmah.”

Kejahatan kedua adalah pembicaraan yang berlebihan. Kelebihan pembicaraan dapat terjadi bila kita ingin menunjukkan kefasihan pembicaraan kita kemudian kita hias pembicaraan kita dengan hal-hal yang tidak perlu, agar orang lebih tertarik pada omongan kita. Penyebab kelebihan pembicaraan juga adalah adanya sikap ingin menunjukkan kepada orang lain tentang sesuatu yang sebenarnya tidak pantas untuk kita tunjukkan. Terkadang kita sering berbicara kepada orang tentang sesuatu yang sebenarnya orang lain tidak berkepentingan dengan hal itu. Tetapi lidah kita gatal untuk menceritakannya pada orang lain.

Banyak berbincang-bincang atau mengobrol juga termasuk ke dalam kategori pembicaraan yang berlebihan. Al-Quran menyebutkan, ”Tidak ada kebaikan pada banyaknya suatu obrolan kecuali dalam per-bincangan itu ada perintah untuk bersedekah, berbuat baik, atau perintah untuk mendamaikan sesama manusia.” (QS Al-Nisa: 114) Dalam suatu hadis disebutkan, ”Berbahagialah orang yang menahan kelebihan pembicaraannya dan membelanjakan kelebihan hartanya.”

Kejahatan ketiga adalah mengobrol tentang hal-hal yang batil. Di hari akhirat nanti, terjadi perbincangan antara para penghuni surga dan para penghuni neraka. Ahli surga bertanya kepada ahli neraka, “Apa yang menyebabkan kamu masuk ke neraka?” Para ahli neraka men-jawab, “Dahulu kami tidak pernah melakukan salat, tidak memberi makan kepada orang miskin, dan kami biasa mengobrolkan hal-hal yang batil dengan orang-orang yang membicarakannya.” (QS. Al-Mudatsir: 42-45).

Kejahatan lidah yang keempat adalah berdebat. Debat memang berguna bagi murid yang sedang belajar. Tetapi bagi seorang alim, debat adalah sesuatu yang harus ia hindari. Seringkali lidah kita gatal untuk mendebat seseorang. Kita menikmati perdebatan karena dengan perdebatan kita dapat memuaskan nafsu binatang buas yang ada pada diri kita. Sifat binatang buas ini mendorong kita untuk menga-lahkan, menghancurkan, dan membuat kita lebih tinggi daripada orang lain.

Nabi berkata, ”Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan, walaupun perdebatan itu benar, maka Tuhan akan berikan kepadanya tempat paling tinggi di surga. Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan yang batil, maka Tuhan akan bangunkan baginya rumah di taman-taman surga.” Dalam riwayat lain disebutkan Nabi bersabda, ”Janganlah engkau debat saudaramu; janganlah engkau lawan dia; dan janganlah engkau menjanjikan sebuah janji kepadanya lalu kau langgar janji itu.”

Kejahatan lidah yang kelima adalah perkataan yang di dalamnya terkandung unsur permusuhan, kedengkian, menyakitkan, serta menjatuhkan harga diri orang lain. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari; Suatu saat ada sahabat yang mencemooh Imam Ali kw karena kepalanya yang tidak berambut. Orang itu berkata, ”Hai, lihat! Sudah datang Si Botak!” Mendengar ucapan itu, Nabi berkata, ”Janganlah kau kecam sahabat-sahabatku.”

Kejahatan keenam adalah melebih-lebihkan pembicaraan untuk menunjukkan kefasihan dalam berbicara. Diriwayatkan dari Sayyidah Fatimah as, Nabi saw pernah bersaba, ”Sejelek-jeleknya umatku ialah orang yang di pagi harinya banyak memperoleh kenikmatan, lalu ia makan dan berpakaian secara berlebihan, dan ia banyak melebih-lebihkan pembicaraannya.”

Kejahatan lidah yang ketujuh adalah lidah yang sering mengucapkan kata-kata kotor. Rasulullah saw bersabda, ”Bukanlah seorang mukmin orang yang kata-katanya kotor, kasar, menusuk, dan melaknat.” Kata-kata kotor adalah kata-kata yang apabila kita mengucapkannya kita dianggap tidak sopan. Sedangkan kata-kata kasar adalah kata-kata yang sebaiknya tidak kita ucap-kan karena ada kata-kata lain yang jauh lebih halus. Seorang mukmin harus bisa menyampai-kan makna ingin diutarakannya dengan bahasa yang halus.

Di sisi lain, Islam pun memuji orang-orang yang berkata jujur dan apa adanya, seperti Abu Dzar Al-Ghifari. Rasulullah saw bersabda, “Di bawah kolong langit ini, di atas bumi yang hijau ini, tidak ada lidah yang lebih jujur daripada lidah Abu Dzar.” Tetapi Abu Dzar juga pernah ditegur oleh Rasulullah saw karena terlalu jujur dalam berkata. Suatu saat, Abu Dzar bertengkar dengan sahabat Amar bin Yasir. Amar adalah orang yang berkulit hitam karena ada garis keturunan dari ibunya yang berkulit hitam. Ketika bertengkar, Abu Dzar berkata kepada Amar, “Hai, anak perempuan berkulit hitam!” Rasulullah saw mendengar hal itu. Ia menegur Abu Dzar, “Celakalah kamu, Abu Dzar! Tidak ada kelebihan orang berkulit putih di atas orang berkulit hitam; (tidak ada kelebihan) orang Arab di atas orang ‘Ajam.” Mendengar ucapan Rasulullah saw tersebut, Abu Dzar langsung merebahkan tubuhnya. Ia letakkan pipinya di atas tanah lalu memerintahkan Amar untuk menginjak kepalanya sebagai tebusan ucapannya tadi.

Kejahatan lidah yang kedelapan adalah melaknat. Sementara kejahatan yang kesembilan adalah lebih banyak bernyanyi daripada membaca Al-Quran. Al-Ghazali menyebutkan ada nyanyian-nyanyian yang diperbolehkan dalam Islam untuk kita nyanyikan. Tapi sebagian besar nyanyian itu tidak bermanfaat dan melalaikan kita dari Allah. Nyanyian yang baik adalah nyanyian yang di dalamnya ada ungkapan-ungkapan kerinduan kepada Allah dan terkandung pujian-pujian untuk Allah swt. []

Petikan ceramah KH. Jalaluddin Rakhmat pada Paket Kuliah Tasawuf; Meraih Cinta Ilahi, yang diselenggarakan oleh Al-Tanwir Spiritual Studies, Yayasan Muthahhari, pada 13 Desember 1999. Transkripsi oleh Sugiarto.


Al-Quran tak pernah menyebut kata kemerdekaan. Istilah itu memang punya makna spesifik dalam sejarah manusia. Ketika masyarakat terdiri dari dua macam anggota —orang merdeka dan budak— merdeka berarti bebas dari perbudakan. Al-Quran menyebut kata “budak” dan “tuan”, “’abd” dan “mawla”.

Ketika dunia terdiri dari bangsa yang menjajah dan bangsa yang terjajah, merdeka berarti melepaskan diri dari penjajahan bangsa lain. Kemerdekaan menjadi sebuah konsep dalam hubungan internasional. disebut merdeka karena ia melepaskan diri dari kekuasaan Belanda. Kata “bangsa” juga didefinisikan sebagai satu kelompok besar manusia —apa pun ras dan etniknya— yang mempunyai penjajah yang sama.

Al-Quran tak menyebut bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Tetapi Al-Quran berkisah tentang kelompok-kelompok manusia —boleh jadi terdiri dari satu bangsa atau bangsa-bangsa lain yang berlainan— yang berhubungan satu sama lain dengan sistem yang tidak adil. Alih-alih menyebut penjajah dan yang dijajah, Al-Quran menyebut “alladzînastakbaru” dan “alladzînastudh’ifu”. Ada kelompok yang arogan dan penindas serta ada kelompok yang dilemah-kan atau ditindas. Karena bertahan hidup dalam sistem yang tidak adil, keduanya disebut sebagai orang-orang zalim. Penduduk negeri mana pun, yang mempertahankan sistem yang zalim, akan dihempaskan dalam pengadilan Tuhan. Keduanya nanti akan saling menyalahkan.

“Sekiranya kamu melihat peristiwa dahsyat ketika orang-orang zalim dihadapkan pada Tuhan mereka sambil mereka saling melem-parkan omongan satu sama lain. Berkata orang-orang yang tertindas kepada mereka yang arogan: Sekiranya tidak karena kamu, tentulah kami termasuk orang-orang yang beriman. Berkata para penguasa arogan kepada orang-orang tertindas: Betulkah kami yang menyimpangkan kamu dari petunjuk setelah petunjuk itu datang kepada kamu? Justru kamu sendiri yang berdosa. Berkata orang-orang yang tertindas kepada penguasa yang arogan: Tidak, bukankah kamu yang membuat rekayasa siang dan malam ketika kalian menguasai kami dengan memerintahkan kami ingkar kepada Tuhan dan mengangkat saingan-saingan Tuhan.

Kedua belah pihak merasakan penyesal-an ketika mereka melihat azab dan kami jadikan belenggu di atas kuduk orang-orang kafir. Mereka tidak dibalas kecuali dengan apa yang mereka kerjakan.

Di depan Tuhan, orang-orang tertindas mengadu kepada Tuhan. Mereka mempersalah-kan para penguasa arogan untuk dosa-dosa mereka. Sebaliknya, para penindas menolak tuduhan itu dengan mengatakan bahwa kebenaran sudah datang kepada mereka. Di sini Al-Quran tidak menjelaskan penindasan dengan cara Marxian, yakni menimpakan semua kesalahan kepada pihak penindas.

Al-Quran tidak membangkitkan kesadar-an kelas. Baik penindas maupun orang tertindas, bertanggung jawab atas sistem yang tidak adil. Penindas bersalah karena arogansinya, kekayaan-nya, dan kekuasaannya. Orang tertindas bersalah karena menerima penindasan itu dengan tidak melakukan perlawanan. Dengan begitu, penindas secara leluasa melanjutkan penindasannya dan orang-orang yang ditindas tidak bangkit menumbangkan sistem yang korup. Para penguasa bebas merancang, merekayasa, mendesain berbagai peristiwa untuk menipu orang-orang tertindas. Pada gilirannya, kaum mustadhafin tak pernah mau berpikir kritis, sehingga dengan mudah digiring ke dalam rekayasa para penindas.”

Inilah penjelasan Al-Quran untuk negara-negara yang hidup dalam sistem yang zalim. Karena kasih sayangnya, Tuhan selalu mengirim-kan para pembaharu, para pemberi peringatan. Sayangnya, kaum mustakbirin menolak mereka dengan membanggakan kekayaan dan para pengikutnya; kaum mustadhafin mencurigai mereka karena rekayasa kaum mustakbirin.

Al-Quran juga menyebutkan, “Dan kami tidak mendatangkan kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan kecuali orang-orang yuang hidup mewah di negeri itu akan berkata kepadanya: Sesungguhnya kami menolak misi kamu. Seraya mereka berkata: Kami lebih banyak kekayaan dan anak buah dari kamu dan kami tidak akan disiksa. Katakan sesungguhnya Tuhanku meluaskan dan menyempitkan rezeki kepada siapa yang dikehendakinya. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”

Para pemberi peringatan itu dahulu adalah para nabi, yang salah satu tugasnya ialah “...membuang beban-beban yang menghimpit mereka dan melepaskan belenggu-belenggu yang memasung mereka.” (QS. Al-A’raf: 157) Perjuangan kemerdekaan bukan hanya mengusir penjajah asing, atau menghancurkan orang-orang kaya, atau menggantikan satu rezim dengan rezim yang lain. Perjuangan kemerdekaan adalah penciptaan suatu kondisi ketika orang-orang yang kaya dan berkuasa bekerja sama dengan orang miskin dan lemah membangun tatanan sosial yang adil. Kedua pihak berjuang —dalam istilah Al-Quran— “dalam jalan Allah dan jalan mustadhafin.” Dengan begitu, mereka menjadi kelompok yang mengemban misi Ilahi: melindungi dan menyelamatkan bangsa dari sistem yang menindas.

Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan di jalan kaum mustadhafin—yakni laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tertindas— yang berkata: Tuhan kami, keluarkan kami dari negeri yang penduduknya orang zalim. Jadikan bagi kami dari sisi-Mu pelindung dan berilah kami dari sisi-Mu pembela.” (QS. Al-Nisa: 75)

Mereka yang menjerit memohonkan kehadiran kaum pembela itu bukan hanya orang-orang tua kita di zaman Belanda, tetapi juga penduduk Indonesia pada zaman Orla ketika mereka ramai-ramai memuja Soekarno dan menahan lapar demi revolusi; juga bangsa Indonesia pada zaman Orba ketika tanah mereka digusur, anak-anak mereka diculik, dan keamanan hidup mereka diancam; saya takut, juga bangsa Indonesia kini yang memperingati kemerdekaan dengan perut yang lapar, jiwa yang frustasi, dan hati yang mencemaskan hari esok. Pemerintahan berulang kali berganti, tetapi kita masih juga termasuk kaum mustadhafin. []

Kang Jalal Menjawab
Tentang Harakah dan Fase Mekah
Bagaimana Bapak menanggapi maraknya rekrutmen Harakah Darul Islam (DI)? Pada tahun 1977, saya pernah mengikutinya. Komitmennya adalah bergabung selama tujuh tahun. Namun sampai sekarang saya belum pernah keluar dengan maksud untuk tidak memutuskan silaturahim.

Yang saya ketahui, harakah ini janggal. Di antaranya adalah dalil yang menyatakan orang di luar harakah sebagai kafir; boleh mencuri harta orang lain di luar harakah untuk kepentingan harakah; yang diutamakan adalah semangat harakah bukan sentuhan-sentuhan keruhanian; ibadah salat tidak dianggap penting karena sekarang masih berada di Fase Mekah.

Sepanjang yang saya ketahui, para aktivis harakah itu (tanpa mengurangi penghormatan saya kepada mereka) adalah orang-orang yang berniat baik tetapi mereka tidak menemukan jalan yang baik pula.

Orang itu terbagi kepada empat golongan. Pertama, yang berniat benar tetapi jalannya keliru. Kedua, yang berniat keliru tetapi jalannya benar. Ketiga, yang berniat benar dan jalannya juga benar. Keempat, yang berniat keliru dan jalannya pun keliru.

Imam Ali kw pernah berkata kepada kaum Khawarij yang memeranginya, ”Niat kalian benar tetapi jalan kalian keliru.” Saya tidak akan menyebut para pengikut harakah sebagai orang kafir atau batil. Saya hanya akan berkata seperti ucapan Imam Ali di atas.

Lalu apa saja jalan keliru yang ditempuh mereka itu? Di antaranya adalah menganggap orang lain yang berada di luar harakahnya sebagai orang kafir. Kita mau berjuang untuk Islam; tetapi kita mengeluarkan sebagian besar umat Islam dengan menganggap kafir golongan lain. Jelas perjuangan kita tidak akan berhasil. Jika kita ingin berjuang untuk Islam, semestinya kita memasuk-kan orang Islam sebanyak-banyaknya; bukannya mengeluarkan orang Islam, apalagi sampai meng-kafirkannya.

Tujuan dakwah adalah untuk menambah jumlah umat Islam. Meskipun demikian, ada orang-orang yang berdakwah dengan mengurangi jumlah umat Islam. Di antaranya para aktivis harakah itu. Mereka mengurangi jumlah umat Islam secara drastis dengan cara mengkafirkan sesama muslim. Mereka mengurangi umat Islam secara kuantitatif dan secara kualitatif.

Termasuk jalan yang keliru adalah mencuri harta orang lain demi kepentingan harakah. Lalu apa bedanya hal itu dengan pencuri-pencuri lainnya. Orang yang mencuri itu juga adalah demi kepentingan hidupnya sendiri. Bedanya adalah; para pencuri biasa, mencuri tidak dengan menggunakan nama Islam, tetapi para aktivis harakah mencuri dengan menggunakan nama Islam. Betapa malangnya agama Islam karena ia sering digunakan oleh pribadi atau kelompok tertentu sebagai label untuk barang jualan guna melancarkan kepentingan sendiri.

Jalan lain yang keliru adalah meng-anggap salat itu tidak penting dengan alasan kita masih dalam periode Mekah. Padahal ketika Rasulullah saw berdakwah di Mekah, perintah salat sudah turun, seperti yang disebut dalam surat Al-Kautsar ayat 2: Maka dirikanlah salat karena Allah dan berkurbanlah. Di Mekah juga turun ayat lain yang berisi perintah untuk melakukan salat malam: Hai orang yang berselimut, bangunlah untuk salat di malam hari, kecuali sedikit (dari-padanya), yaitu seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit (QS. Al-Muzzammil: 1-3). Ayat itu menunjukkan waktu malam yang harus sedikit dipakai untuk tidur dan harus lebih banyak dipakai untuk salat. Jika kita konsisten dengan fase Mekah tersebut, berarti kita salat tidak harus lima waktu; tiga kali pun tidak apa-apa. Tetapi waktu malam harus kita isi dengan salat malam.

Saya tidak yakin apakah kita ini masih dalam fase Mekah. Ada banyak ciri pada fase Mekah yang tidak ada dalam harakah tersebut saat ini. Misalnya, pemimpin pada fase Mekah (yaitu Rasulullah saw) sudah mengungkapkan dirinya sebagai pemimpin dengan terang-terangan. Rasulullah saw hanya tiga tahun berdakwah secara tersembunyi. Bahkan hanya beberapa hari setelah menerima wahyu, Rasulullah saw telah mengum-pulkan keluarganya dan menyatakan dirinya sebagai pemimpin harakah. Pemimpin harakah di saat ini tidak mau berdakwah terang-terangan seperti Rasulullah saw; bahkan ia lebih memilih untuk sembunyi-sembunyi.

Pada dakwah Rasulullah saw di fase Mekah, ada seorang Abu Thalib yang menampak-kan kekafiran tetapi menyembunyikan keislaman-nya. Waktu itu, Abu Thalib adalah penguasa yang dihormati. Beliau memimpin sebuah kabilah dan juga melindungi harakah Rasulullah saw. Pada fase Mekah pun ada seorang Khadijah yang memiliki harta banyak dan digunakan untuk harakah Islam. Dana harakah tidak diambil dari orang miskin. Muhammad saw mengambil harta istrinya untuk digunakan demi kepentingan pengikut harakah. Sementara harakah yang ada sekarang sebaliknya; mengambil harta pengikut untuk digunakan demi kepentingan istrinya.
RIDHO ILLAHI

Pada suatu hari, Nabi Musa as bermaksud menemui Tuhan di Bukit Sinai. Mengetahui maksud Musa, seorang yang sangat saleh mendatanginya, “Wahai Kalimullah, selama hidup saya telah berusaha untuk menjadi orang baik. Saya melakukan salat, puasa, haji, dan kewajiban agama lainnya. Untuk itu, saya banyak sekali menderita. Tetapi tidak apa, saya hanya ingin tahu apa yang Tuhan persiapkan bagiku nanti. Tolong tanyakan kepada-Nya!”

“Baik,” kata Musa seraya melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa dengan seorang pemabuk di pinggir jalan. “Mau ke mana? Tolong tanyakan pada Tuhan nasibku. Aku peminum, pendosa. Aku tidak pernah salat, puasa, atau amal saleh lainnya. Tanyakan kepada Tuhan apa yang dipersiapkan-Nya untukku.” Musa menyanggupi untuk menyampaikan pesan dia kepada Tuhan.
Ketika kembali dari Sinai, ia menyampai-kan jawaban Tuhan kepada orang saleh, “Bagimu pahala besar, yang indah-indah.” Orang saleh itu berkata, “Saya memang sudah menduganya.” Kepada si pemabuk, Musa berkata, “Tuhan telah mempersiapkan bagimu tempat yang paling buruk.” Mendengar itu, si pemabuk bangkit, dengan riang menari-nari. Musa heran mengapa ia bergembira dijanjikan tempat yang paling jelek.

“Alhamdulillah. Saya tidak peduli tempat mana yang telah Tuhan persiapkan bagiku. Aku senang karena Tuhan masih ingat kepadaku. Aku pendosa yang hina-dina. Aku dikenal Tuhan! Aku kira tidak seorang pun yang mengenalku,” ucap pemabuk itu dengan kebahagiaan yang tulus. Akhirnya, nasib keduanya di Lauh Mahfuzh berubah. Mereka bertukar tempat. Orang saleh di neraka dan orang durhaka di surga.

Musa takjub. Ia bertanya kepada Tuhan. Jawaban Tuhan begini: “Orang yang pertama, dengan segala amal salehnya, tidak layak memperoleh anugerah-Ku, karena anugerah-Ku tidak dapat dibeli dengan amal saleh. Orang yang kedua membuat Aku senang, karena ia senang pada apa pun yang Aku berikan kepadanya. Kesenangannya kepada pemberian-Ku menye-babkan aku senang kepadanya.”

Sandungan pertama dalam perjalanan menuju kesucian adalah ridha dengan diri sendiri. Kita merasa sudah banyak beramal, dan karena itu berhak untuk memperoleh segala anugerah Tuhan. Ketika kita mengalami kesulitan, kita berusaha keras untuk menguasainya —lahir dan batin, lalu kita mohon pertolongan Allah. Dengan segala usaha itu, kita merasa berhak untuk mendapatkan pertolongan-Nya. Tuhan berke-wajiban untuk melayani kita. Ketika yang kita tunggu tidak juga datang, kita marah kepada-Nya, sambil berargumentasi, “Apalagi yang harus aku lakukan? Apa tidak cukup semua pengorbanan yang telah kuberikan?”

“Janganlah kamu memberi dan meng-anggap pemberianmu sudah banyak,” firman Tuhan (QS. Al-Mudatsir: 6). Janganlah kamu berkata sudah semua kamu kerjakan. Setiap kali kamu bertanya seperti itu, ingatlah, belum banyak yang kamu kerjakan. Secara lahiriah, merasa telah banyak berbuat membuat orang putus asa. Karena putus asa, ia tidak mau berbuat lagi. Seluruh geraknya terhenti. Secara batiniah, merasa telah berbuat banyak menjatuhkan tirai gelap yang menutup karunia Tuhan. Ia mengandalkan amalnya dan meremehkan pemberian Tuhan. Pada hakikatnya, ia masih berkutat dengan dirinya. Ia tidak berjalan menuju Tuhan. Ia berputar-putar di sekitar egonya. Ia tidak mencari ridha Tuhan. Ia mengejar ridha dirinya.

Kepuasan akan diri telah banyak membinasakan para salik sepanjang sejarah. Hal yang sama telah melemahkan semangat para pejuang kebenaran. Mereka merasa telah berkorban habis-habisan, tetapi hasilnya tidak ada. Anda dapat menemukan perasaan ini pada orang-orang saleh di sudut mesjid dan juga pada para demonstran reformis di simpang jalan. Yang pertama menghapuskan ibadatnya, yang kedua menyia-nyiakan pengorbanan kawan-kawannya.

Kepada siapa saja di antara Anda yang taat beribadat, bacalah doa ini setelah salat Anda: “Tuhanku, ampunan-Mu lebih diharapkan dari amalku. Kasih-Mu lebih luas dari dosaku. Jika dosaku besar di sisi-Mu, ampunan-Mu lebih besar dari dosa-dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasih-Mu, kasih-Mu pantas untuk mencapaiku dan meliputiku, karena kasih sayang-Mu meliputi segala sesuatu. Dengan rahmat-Mu, wahai Yang Paling Pengasih dari segala Yang Mengasihi.”

Kepada siapa saja di antara Anda yang sedang berjuang menegakkan kebenaran, tetapi Anda sudah letih dan merasa tidak berdaya, bacalah doa Nabi Muhammad saw ketika ia berlindung di kebun Utbah dengan kaki berlumuran darah, “Ya Allah, kepada-Mu aku adukan kelemahan diriku, ketidak-berdayaanku, dan kehinaanku di mata manusia. Wahai yang Mahakasih dan Mahasayang, wahai Tuhan orang-orang yang tertindas. Kepada tangan siapa akan Kau serahkan daku? Kepada orang jauh yang memperlakukanku dengan buruk? Atau kepada musuh yang Kau berikan kepadanya kekuasaan untuk melawanku? Semuanya aku tidak peduli, asalkan Engkau tidak murka kepadaku. Anugerah-Mu bagiku lebih agung dan lebih luas. aku berlindung pada cahaya ridha-Mu, yang menyinari kegelapan. Janganlah murka-Mu turun kepadaku. Janganlah marah-Mu menimpaku. Kecamlah daku sampai Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan, kecuali melalui-Mu.” []

Dalam kedamaian hati, lelaki bertubuh tegap itu sejenak terdiam. Ia sudah hampir sampai di dekat Ka’bah. Ia pandang dari kejauhan para penziarah Ka’bah datang dengan senyum kebahagiaan; kebahagiaan hendak berjumpa dengan rumah Tuhan. Ia menatap lempang bangunan Ka’bah dengan kerinduan yang tulus. Sering ia berkunjung ke Ka’bah, tetapi kunjungannya hari itu terasa lain bagi dirinya. Ia merasakan kehadirannya saat itu begitu sangat membahagiakannya. Wajahnya tengadah ke langit; mulutnya bergetar menahan haru karena rasa syukur dapat berjumpa dengan bulan yang sangat dicintai Allah, yaitu bulan haji.

Kini, ia telah tiba di tempat miqat, matanya terpaku memandang hening. Bulir air mata jatuh di pipinya karena menahan rasa haru; rasa bahagia menjadi tamu Allah. Inilah ziarah yang selalu dinantikannya, ziarah dengan bekal menggapai keridhaan-Nya. Ia rebahkan dirinya untuk bersujud; sujud syukur seorang hamba. Pada hatinya yang lembut, ia tetapkan niat untuk menanggalkan pakaian takabur, riya’, nifak, syubhat, dan segala bentuk kehinaan di sisi Allah dengan baju taat berbalut keikhlasan. Ketetapan niatnya untuk membersihkan diri dengan cahaya taubat yang tulus kepada-Nya mengiringi lubuk hatinya; saat ia memulai mandi dan berihram untuk melaksanakan pekerjaan pertama pada hajinya. Ia pun tak lupa saat niat berihram untuk meneguhkan dirinya dengan membebaskan dalam benaknya segala yang diharamkan oleh Kekasihnya.

Dalam udara yang panas dan terik matahari yang menyapu bumi, sosok tubuh yang tegap itu gelisah dan cemas. Baru saja ia hendak melantunkan kalimat talbiyah, bibirnya yang kering tampak bergetar, lidahnya terbata kelu, dan wajahnya pucat pasi. Hampir saja ia jatuh pingsan karena tak sanggup mengucapkan; Labbaik Allâhumma Labbaik. Yang teringat dalam pikirannya adalah bagaimana nasibnya jika Kekasihnya itu menyongsong seruannya dengan jawaban Lâ labbaik. Ia cemaskan dirinya, jika Tuhan menolak kehadirannya karena ia masih saja belum memurnikan jiwanya untuk menghadap kepada Sang Pemilik Rumah Allah.

Salat ihram yang ia kerjakan adalah awal yang berat yang dihadapinya pada pekerjaan hajinya. Seperti dalam salat-salatnya yang lain, kepucatan dan kegelisahan jiwanya ketika salat selalu menyertai dan hampir membuatnya kaku dan pingsan. Rasa takut dan cemas datang juga ketika ia hendak memulai salat sunat ihramnya. Pertemuannya dengan Tuhan menghempaskan dia pada pengakuan betapa rindunya ia pada kedekatan Tuhannya. Usai shalat tiada henti-hentinya ia bermunajat dan menangis. Berulang kali ia berdoa memastikan kecintaan dan tujuan hidupnya hanya untuk Allah semata. Perlahan ia beranjak dari sujudnya untuk mulai berangkat menuju Ka’bah.

Ka’bah berada tidak jauh dari hadapan-nya. Ia pandang keagungan rumah Tuhan dengan ketakjuban yang dalam. Ia diam terpaku. Pikiran-nya menerawang ke masa silam.Ia teringat pada datuknya, Muhammad saw. Tetes air mata tak henti-hentinya jatuh dari kelopak matanya yang sayu. Bibirnya terbata-bata mengatakan, “Duhai kakekku, betapa beratnya perjuanganmu untuk merebut dan membangun kembali rumah Tuhan ini. Deritamu adalah deritaku, lelahmu adalah lelahku. Salam bagimu, duhai kekasih Allah.”

Dalam putaran thawafnya, ia pastikan dalam hatinya bahwa ia sedang berjalan dan berlari menuju keridhaan Tuhannya yang Mahatahu dan Mahagaib. Hatinya yang bersih menyaksikan bahwa di atas langit Tuhan sana ada sekumpulan malaikat ikut serta berthawaf dengannya sambil melantunkan talbiyah mengelilingi Baitul Ma’mur.

Saat bergerak mendekati Hajar Aswad, kecemasan hatinya makin memuncak. Ia merasakan tangannya berat untuk menyentuh batu hitam itu. Aliran darah dalam tangannya mengalir deras menegangkan telapak tangannya yang putih; tangannya seakan-akan berjabatan langsung dengan tangan Tuhan.

Lalu, ia berhenti dan berdiri di dekat makam Nabi Ibrahim, terbayang olehnya perjuangan Ibrahim dalam menjalankan pesan Tuhan yang penuh dengan derita; dari terpisahnya dengan ibu-bapaknya sampai harus dibakar hidup oleh musuhnya. Ibrahim tetap sabar dan berpegang pada tali Tuhannya. Sejenak ia ucapkan salam pada Ibrahim dan segera ia mengerjakan salat dua rakaat. Kekokohannya berdiri di makam Ibrahim, ia tetapkan sebagai pengukuhan niat taatnya kepada Allah dan pelepasannya dari pakaian kemaksiatan. Salatnya adalah pancaran hati yang tunduk patuh mengikuti jejak Nabi Ibrahim dan pengakuan penentangannya kepada segala bisikan setan.

Perjalanan hajinya terhenti ketika ia melihat dari ujung Masjid Al-Haram para jamaah merapat menuju sumur Zam-zam; sumur cermin-an derita Ismail yang menantikan perjuangan ayah ibunya dalam mencari air untuk mengusap dahaganya. Sumur sejuk pancaran kasih sayang Tuhan kepada kekasihnya. Bayangan ini meng-antarkan Imam Ali Zainal Abidin pada keterpu-kauan akan kasih sayang Allah yang luas. Ketika ia mendekati tempat itu, ia tunjukkan pada dirinya pandangan mata yang teduh pada sumur Zam-zam; pandangan yang menggambarkan bentuk kepatuhannya kepada Allah dan pembebasan matanya pada segala tatapan maksiat.

Kini, Sa’i mengantarkan pada ingatannya sebagai bentuk pengorbanan dan kecintaan Ibarahim dan Hajar kepada anaknya serta kekhawatiran akan tidak tercapai maksud mereka. Karena itulah sambil berlari-lari kecil, ia lakukan Sa’i dengan tiada henti-hentinya berdoa mengharapkan rahmat Allah dan pengakuan takut akan azab Allah.

Perjalanan haji berikutnya mengantarkan ia pada suatu tempat yang disebut Mina. Di kota itu ia teguhkan hatinya untuk menjaga dengan sungguh-sungguh hati dan tangannya agar tetap membuat orang lain merasa aman dari segala perbuatannya.

Ketika wukuf di Arafah, ia benamkan dirinya dalam makrifat kepada Allah dengan untaian doa dan permohonan ampunan kepada Kekasihnya. Di tempat ini pun ia tak henti-hentinya menangis; mengakui dosa pada Kekasihnya. Bayangan terberatnya adalah akankah rasa panas di Arafah ini, ia alami kelak di Padang Mahsyar pada hadapan Tuhannya karena kehinaan ruhaninya. Persaksian rasa malu akan cinta kasih Tuhan pada dirinya menyeretkan dia pada sujud yang panjang di tanah putih itu.

Jabal Rahmah yang tinggi dan terjal, ia daki dengan ketulusan dan sabar. Pada ujung pendakiannya, tiada henti ia mengungkapkan dambaan akan rahmat Allah dan bimbingan-Nya bagi kaum muslim. Baginya tempat mulia itu adalah tempat yang menjadi saksi atas segala bentuk kepatuhan hamba kepada Tuhannya.

Di Wadi Namira, ketetapan hatinya mengatakan bahwa ia tidak akan memerintahkan berbuat baik dan mencegah kejelekan kepada orang lain, sebelum dirinya mampu berbuat baik dan mencegah diri dari kemungkaran.

Usai melewati ‘Alamain, hati dan seluruh tubuhnya pun bersaksi dan sekaligus meneguhkan diri tidak akan bergeser selain dari agama Islam.

Ketika menuju Muzdalifah dan memungut batu di sana, ia masih saja menggoreskan dalam hatinya perasaan membuang jauh segala bentuk maksiat dan kejahilan terhadap Allah serta diiringi penegasan hati untuk mengejar ilmu dan amal yang diridhai oleh-Nya.

Dan ketika melewati Mas’arul Haram, ia isyaratkan dalam hatinya agar dirinya bersyi’ar seperti orang-orang yang penuh dengan ketakwaan dan ketakutan pada Allah.

Pengakuan yang tulus akan kasih sayang Allah yang telah memenuhi hajat dan memudah-kan perjalanannya, ia lantunkan ketika menuju Mina untuk melempar Jumrah.

Pada lemparan Jumrahnya, dengan perasaan yakin, ia lempar Iblis dan berusaha sekuat tenaga untuk memusuhi iblis dalam seluruh hidupnya.

Usai mencukur rambut, ia lanjutkan perjalanan menuju Masjid Khaif. Tidak henti-hentinya ia mencemaskan dirinya karena takut akan dosa dan ketakutannya hanya kepada Allah semata.

Saat memotong hewan kurban, ia sandarkan niat untuk memotong urat ketamakan dan memegang sikap wara’ yang sesungguhnya pada dirinya. Ia pun teringat pada Ismail yang dengan tulus menjalankan perintah Tuhan, dan kesabaran Ibrahim dalam mengemban titah Tuhan sebagai peristiwa yang harus diteladani. Air matanya mengalir deras membayangkan peristiwa suci itu semua.

Pada saat di Mekah, ketika Haji Ifadah, ia tetapkan niat berifadah dari pusat rahmat Allah serta senantiasa kembali kepada kepatuhan, kecintaan, dan mendekati diri kepada-Nya. Di akhir hajinya, ia lanjutkan perjalanan suci itu menuju Madinah. Ketika merapat mendekati kota Madinah, Ia pandang bangunan kota Madinah dengan ingatan bahwa di sinilah kota tempat kakeknya tinggal. Di sinilah tempat tepian hijrah Muhammad dalam menyebarkan titah kekasih-Nya. Di sinilah pula tempat rebahnya jasad suci yang damai terbaring panjang di pelukan cinta Tuhan.

Ia bergumam: Ya Allah,inilah tempat suci tempat kediaman Rasul-Mu.Maka jadikanlah ia bagiku sebagai penangkal dari api neraka serta penyelamat dari azab dan hisab yang buruk.

Dalam perjalanannya menuju Masjid Nabawi, ia saksikan bahwa inilah jalan tempat datuknya melangkah dan di sinilah kekhusyuan cinta hamba mengumandang di malam-malamnya; di sinilah keringat lelah jatuh menebar harum menyejukkan bumi Madinah.

Sebentar lagi ia hampir tiba di pusara kakeknya, Muhammad saw. Kerinduan memuncak dalam dadanya. Matanya berkaca-kaca karena ia akan berjumpa dengan pusara kekasih Tuhan.

Begitu ia sampai di depan pusara Muhammad saw, air mata jatuh membasahi janggutnya. Ia tatap pusara datuknya sambil tak henti-hentinya bershalawat kepadanya. Dalam keguncangan hati, terbayang dalam pikirannya bahwa sudah begitu jauh dirinya meninggalkan sunnah datuknya. Rasa malu mengoyak hatinya. Harapannya adalah akankah Rasul Allah menjenguk dan menyapa dia di hadapan Tuhan nanti, ataukah ia berpaling dan menjauhi dirinya tanpa sapa dan salam. Celakalah sudah dirinya. Dalam kesedihan dan kerinduannya yang panjang, ia berucap:

“Salam bagimu, duhai kekasih Allah. Salam bagimu, duhai nabi Allah. Salam bagimu duhai pilihan Allah.. Salam untukmu, wahai yang paling utama di antara makhluk Allah.. Salam untukmu, wahai kecintaan Allah. Salam bagimu, wahai penghulu para utusan Allah. Salam untukmu, wahai utusan Tuhan semesta alam. Salam bagimu, duhai pemimpin para pembela kebenaran. Salam untukmu dan anggota keluargamu yang Allah telah menghapus dosa mereka dan menyucikan mereka sesuci-sucinya. Salam untukmu dan untuk para sahabatmu yang baik-baik, serta istri-istrimu wanita-wanita suci dan ibu-ibu bagi kaum mukmin.

“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa engkau adalah hamba serta utusan-Nya; dan orang kepercayaan-Nya dan pilihan-Nya di antara makhluk-Nya. Dan aku bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah,dan senantiasa tulus ikhlas kepada ummah. Dan bahwa engkau telah berjihad di jalan Allah, dengan sebaik-baik jihad.

“Maka atas semuanya itu, semoga Allah bershalawat dan melimpahkan rahmat, kedamaian, kemuliaan, serta keagungan atas dirimu dan seluruh anggota keluargamu yang baik, untuk selama-lamanya....”
(Sumber: Percakapan Imam Ali Zainal Abidin as dengan Al-Syibli dalam Kitab Al-Hajj: Ibâdah wa Tarbiyah.) []

Banyak orang yang tidak sadar bahwa mereka telah tertipu oleh sangkaan sendiri. Betapa sering kita menyangka bahwa kita adalah orang yang terbaik di antara kawan-kawan kita atau di antara lingkungan keluarga kita dalam hal amal ibadah atau dalam hal lainnya. Padahal sangkaan kita itu sering menipu dan menjatuhkan kita ke derajat yang terendah. Al-Quran meng-gambarkan sangkaan ini seperti orang yang melihat fatamorgana di tengah padang pasir. Kita melihat fatamorgana yang kita sangka sebuah oase. Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al-Kahfi: 103-104)

Orang Yang Menyangka Dirinya Alim
Salah satu dari mereka yang tertipu oleh sangkaan sendiri adalah orang yang menyangka atau merasa dirinya alim (pandai), padahal sesungguhnya dia adalah orang yang paling bodoh dan jahil. Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa yang berkata: Aku ini alim, maka sebenarnya dia itu bodoh.” (Bihârul Anwâr 2: 110)

Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi Musa as pernah diperintahkan Allah swt untuk belajar kepada Nabi Khidir as. Suatu saat, Musa as pernah berpidato di hadapan Bani Israil. Seseorang bertanya kepada beliau, ”Ayyun nâsi a’lamu? Siapakah orang yang paling pandai? Musa menjawab, ”Ana a’lamu. Akulah yang paling pandai.” Karena jawabannya itu, Allah swt menegur Nabi Musa as, ”Ada seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku yang lebih berilmu daripadamu. Sekarang dia berada di antara pertemuan dua laut.” Lalu terjadilah kisah Nabi Musa berguru kepada Khidir seperti yang diabadikan dalam Al-Quran. (Shahîh Muslim: Kisah Beberapa Rasul)

Seorang sufi besar dari Mesir, Ibnu ‘Athaillah, mengatakan dalam kitabnya Al-Hikam, ”Seorang mukmin jika dipuji, maka ia malu kepada Allah karena ia dipuji dengan sifat yang tidak ada pada dirinya.” (Al-Hikam, hikmah ke-143/154).

Sangkaan-sangkaan yang baik tentang diri kita seringkali menipu dan menjerumuskan kita kepada kecongkakkan yang tiada kita sadari. Betapa seringnya kita menyangka bahwa kita telah banyak bersedekah, salat tahajud, atau kita menyangka bahwa kita telah tawadhu atau termasuk orang-orang yang rendah hati. Banyak lagi sangkaan-sangkaan baik menipu diri kita sendiri, padahal tanpa kita sadari kita sudah menjadi orang yang tercela. Na’udzubillâh.

Hal ini semua disebabkan kita tidak mengembalikan segala kebaikan yang kita peroleh itu kepada Sang Pemberi karunia; yaitu Allah swt.

Al-Quran berkisah tentang Qarun, seorang hartawan yang sukses pada masa Nabi Musa as. Qarun berkata, ”Sesungguhnya aku hanya diberi harta karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash: 78). Tidak lama setelah itu sangkaan dan kesombongan Qarun menyebab-kan dia terbenam dan terhimpit bumi selama-lamanya. Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. (QS. Al-Qashash: 81)

Sebaliknya Al-Quran juga menceritakan Nabi Sulaiman as, yang tak ada seorang pun yang bisa menyamai kekayaannya. Al-Quran menyebutkan: Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana (Ratu Bilqis) itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, “Hâdza min fadhli rabbi. Ini termasuk karunia Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkarinya “ (QS. Al-Naml: 40)

Orang Yang Menyangka Dirinya Tawadhu
Orang seringkali tertipu dengan amal-amal ibadahnya sendiri; karena sangkaannya sendiri. Seperti orang yang menyangka (baca: merasa) dirinya sudah bersikap tawadhu kepada manusia lainnya. Padahal perasaan dan sangka-annya itu telah berubah menjadi ‘ujub yang sangat samar. Dalam hal ini pun Ibnu ‘Athaillah berkata, ”Barangsiapa yang merasa rendah hati (tawadhu), berarti ia benar-benar sombong. Sebab tidak mungkin seseorang itu merasa tawadhu kecuali ia merasa besar atau tinggi. Karena itu jika kalian menetapkan bahwa dirimu itu benar, maka kalian benar-benar sombong. Apabila kalian menetapkan diri bertawadhu padahal dirimu seorang besar dan tinggi, maka itu berarti dirimu benar-benar telah menjadi orang yang mutakabbir. Orang yang tawadhu bukanlah orang yang ketika bertawadhu merasa bahwa dirinya telah merendahkan diri. Tetapi seorang yang tawadhu adalah orang yang bila berbuat sesuatu merasa dirinya belum layak mendapatkan kedudukan itu.” (Al-Hikam, hikmah 238-239)

Dikisahkan dalam kitab Durud-i-Qasimi, Imam Ali kw menerima seorang berandal yang telah bertaubat untuk menjadi muridnya. Belum lama murid itu belajar, Imam Ali berkata kepada murid-muridnya yang lain, ”Orang ini akan menjadi manusia suci sesudah ia meninggalkan tempat ini, dan kekuatannya tidak akan ada yang menandingi.” Imam Ali lalu meletakkan tangan kanannya di atas kepala murid barunya itu. Murid-murid yang lain saling bertanya di antara mereka sendiri; mengapa mereka tidak mendapat restu seperti murid baru itu sehingga dalam sesaat mereka juga dapat memperoleh barakah dari sang Imam.

Imam Ali mengetahui kegelisahan murid-muridnya. Beliau berkata, ”Orang ini memiliki kerendahan hati dan karenanya aku dapat mengalirkan barakah ke dalam dirinya. Kegagalan kalian untuk berendah hati telah mempersulit kalian untuk menerima barakah, karena kalian menutup diri kalian. Jika kalian menghendaki bukti akan keangkuhan kalian, dengarkanlah apa yang akan kusampaikan ini: Orang yang rendah hati ini menganggap dirinya tidak dapat belajar tanpa jerih payah yang berat dan waktu yang lama. Akibatnya ia dapat dengan mudah dan cepat belajar. Orang yang angkuh menganggap dirinya sudah layak menerima barakah, padahal dirinya mungkin belum pantas untuk menerimanya. Memang menyedihkan menjadi manusia yang belum layak menerima barakah. Namun yang lebih menyedihkan lagi adalah manusia yang merasa bahwa ia adalah manusia yang rendah hati dan tulus, padahal kenyataannya tidak demikian. Tetapi yang paling menyedihkan dari semua itu adalah manusia yang tidak memikirkan sesuatu hal pun sampai-sampai apabila ia melihat orang lain, ia merasa dirinya jauh lebih unggul sehingga perbuatannya tidak terkendalikan lagi.” (Idries Shah, The Thinkers of The East).