Kamis, 27 November 2008

Dagelan Abadi Bernama “Al-Qaida”

“Kami memberi waktu dua bulan kepada orang-orang Persia, dan terutama penguasa Iran, untuk menghentikan segala bentuk bantuan bagi pemerintah Syiah Irak dan untuk tidak melakukan intervensi, baik langsung maupun tidak langsung…jika tidak, maka sebuah perang yang brutal sedang menanti anda…”

(Abu Omar al-Baghdadi, pemimpin al-Qaida di Irak) []

Jika anda pernah membaca berita di atas, berhenti dulu membuat kesimpulan. Anda disarankan membaca berita-berita berikut ini.

Pertama, pernyataan kebencian terhadap Syiah yang dinisbatkan kepada al-Qaida, seperti di atas, bukanlah satu-satunya. Sebagai contoh, CNN pernah merilis rekaman dimana Osama bin Laden, pemimpin tertinggi al-Qaida, menyerukan kepada kaum Sunni di Irak untuk menyerang Syiah, yang disebutnya sebagai “pengkhianat”, “rejeksionis”, “agen AS”.[[2]]

Kedua, Komisi 9/11 yang dibentuk Washington untuk “menyembunyikan kebenaran”—alih-alih mengungkapkannya—menyimpulkan bahwa jaringan teroris al-Qaida sejak lama telah menjalin hubungan dengan Iran. Komisi itu juga mengatakan, “Laporan intelijen menunjukkan adanya potensi sangat besar tentang kolaborasi antara al-Qaida dengan Hizbullah daripada yang pernah dibayangkan sebelumnya.” Karena Hizbullah adalah kelompok yang didukung Iran, maka komisi itu menempatkan al-Qaida, Hizbullah, dan Iran dalam satu jaringan gerombolan teroris.[]

Ketiga, newsroomamerica, mengutip pernyataan para pejabat Barat yang anonim, menulis bahwa al-Qaida menggunakan Iran untuk mengorganisasi dan melancarkan operasi melawan AS dan pasukan koalisi di Irak serta di manapun. Sementara The Financial Times melaporkan bahwa operasi al-Qaida dilakukan dengan persetujuan langsung pemerintahan Islam garis keras di Iran.[[4]]

Keempat, Brigadir Jenderal Kevin Bergner, jurubicara “Camp Victory” di Irak, menuduh Brigade al-Quds Iran terlibat dalam mendukung milisi anti-AS di Irak. Lebih spesifik lagi Bergner menyebutkan bahwa Brigade al-Quds bertanggung jawab atas tewasnya 5 serdadu AS di Karbala, yang digambarkannya diserang dengan persenjataan canggih itu.[]

Mari kita petakan: al-Qaida menuduh Iran mengintervensi Irak, dan menuduh Syiah sebagai kolaborator AS; Amerika menuduh Iran mendukung milisi anti-AS di Irak, dan menjadi basis perencanaan dan operasi al-Qaida.

Luar biasa, sepertinya kita harus menyanyikan lagu lawas milik Vina Panduwinata, ‘Logika’, “Di mana logika…?”

Namun, kita tidak tahu kebenaran dan keakuratan berita-berita itu karena kita setiap harinya terbiasa menjadi keranjang sampah berita-berita semacam itu.

Bisa jadi akan hadir dalam pikiran kita dua kemungkinan: [1] jika berita itu benar, maka al-Qaida tampaknya lebih kompeten dalam berperan sebagai biro humas Gedung Putih ketimbang “pahlawan” Islam, sebagaimana yang diyakini para pendukungnya: melontarkan ancaman kepada sesama Muslim; menyerang orang-orang tidak berdosa; dan memberi citra negatif bagi Islam dan para pejuang Muslim sejati. [2] Dan, jika berita itu tidak benar, maka hantu bernama “al-Qaida” ini benar-benar menjadi epidemi global para neokon AS untuk menggelar perangnya di seantero dunia.

Namun bagaimanapun, dua kemungkinan tersebut menyajikan kepada kita satu kesimpulan: bahwa yang namanya AS dan al-Qaida (apa dan siapa pun ia) tampaknya sama-sama membenci Iran, dan Syiah pada umumnya. Jika begitu, apa yang disebut jurnalis kampiun Seymour Myron Hersh (The New Yorker, 25/02/07) sebagai “perubahan arah” (redirection) kebijakan strategis AS untuk menempatkan Iran dan Syiah sebagai “musuh nomor wahid”—di antaranya dengan mempersenjatai kelompok-kelompok anti-Syiah—benar adanya [[6]].

Tapi nanti dulu! Al-Qaida tidak hanya meracau soal Syiah. Ayman az-Zawahiri, deputi Osama yang digadang-gadangkan sebagai ‘inkarnasi’ Nabi Harun itu (dan tentu saja Osama adalah Nabi Musa-nya), pernah menyebut Hamas yang Sunni itu sebagai pengkhianat Allah, karena memilih ikut dalam proses demokrasi, yang dipandang az-Zawahiri sebagai tindakan berdamai dengan Israel [].

Jadi, ini bukan soal Syiah. Ini soal para nihilis, seperti neokon di AS dan al-Qaida, yang membenci kekuatan anti-imperialisme di mana pun, siapa pun, dan kapan pun. Apa bedanya jika “pan-Amerikanisme” neokon dan “pan-Wahabisme” gaya al-Qaida sama-sama hendak menghadirkan ‘peradaban’ baru dengan menghancurkan peradaban lama tanpa reserve. Bukankah keduanya sama-sama imperialis-nihilistik?

Iran vs AS plus Al-Qaida di Irak

Sebagian pengamat Barat, seperti Robert Dreyfuss, kerap keliru ketika menyimpulkan bahwa Iran dan AS sama-sama ‘mendukung’ pemerintahan al-Maliki, yang Syiah itu, di Irak. Kesalahan yang sama terjadi ketika mereka menganggap bahwa Iran dan kaum Syiah di Irak sama-sama berkepentingan terhadap keberadaan pasukan koalisi pimpinan AS di Irak.

Sejatinya, AS, sebagaimana pernah diungkapkan mantan menlu Collin Powell, tidak menginginkan Syiah tampil ke pentas politik Irak pasca-Saddam. Mereka telah menyiapkan figur sekuler seperti Achmad Halabi, yang mereka pelihara selama ini—sebagaimana juga mereka memelihara orang-orang Iran anti-pemerintahan Islam. AS terpaksa menerima konfigurasi politik Irak seperti saat ini, di mana mayoritas Syiah berkuasa, karena tuntutan keras Ayatullah Ali Sistani, figur terpopuler di kalangan Syiah Irak, agar segera dilaksanakan pemilu yang langsung dan bebas di Irak pasca-Saddam. Dengan kata lain, AS tidak mempunyai pilihan lain kecuali menempatkan mayoritas Syiah di pusat kekuasaan melalui pemilu.[[8]]

Maka, berbagai upaya pun dilakukan AS untuk memperlemah, bahkan mengkudeta pemerintahan al-Maliki[], dan sekaligus menjustifikasi keberadaan lebih lama pasukannya di Irak. Upaya-upaya memicu konflik sektarian, baik melalui militernya maupun para kontraktor keamanan partikelirnya, terus dilakukan. Sebagai contoh, banyak laporan dan analisis mengindikasikan keterlibatan unsur-unsur AS dan pasukan koalisi dalam pemboman pertama dan kedua terhadap Haram Imam Hasan Asykari di Samara [[10]].

Pernyataan terakhir George W. Bush bahwa pasukan koalisi masih akan berada di Irak karena pemerintahan al-Maliki tidak mampu menjamin keamanan di sana adalah indikasi lain, bagaimana Gedung Putih berupaya untuk terus mendelegitimasi pemerintahan terpilih di Irak. Padahal, bukankah ‘kegagalan’ al-Maliki juga merupakan bukti kegagalan Bush di Irak? Pemerintahan al-Maliki sebenarnya nyaris mirip dengan pemerintahan Hamas di Palestina yang tidak mempunyai wewenang untuk mengorganisasikan keamanan wilayahnya secara independen karena keberadaan pasukan pendudukan di wilayah mereka masing-masing.

Sementara itu, Iran, dalam hal ini, mendukung pemerintahan al-Maliki sekaligus menginginkan AS segera hengkang dari Irak. Dukungan Iran terhadap al-Maliki tidak bisa secara absolut ditafsirkan sebagai dukungan terhadap kolega Syiah-nya. Iran mendukung pemerintahan Irak karena memang pemerintahan inilah yang dipilih mayoritas rakyat Irak dalam pemilu, dan karena memang demikianlah pergaulan dan hubungan internasional semestinya dilakukan.

Pada saat yang sama, Iran berkepentingan dengan stabilitas kawasan. Sebab, instabilitas di sana telah banyak menimbulkan kerugian bagi Iran, terutama di wilayah perbatasan: maraknya perdagangan narkoba, penyelundupan senjata, dan aksi-aksi terorisme dari kelompok-kelompok anti-Iran. Bagi Iran, hengkanya AS beserta para pasukan swastanya dari Irak, secara damai, akan memberikan otoritas lebih kepada pemerintahan al-Maliki, atau siapa pun, untuk menghadirkan keadaan yang relatif lebih aman. Bagi Iran, preseden Vietnam yang lebih aman setelah ditinggal AS adalah sebuah pelajaran bahwa perginya AS tidak lantas berkorelasi dengan jatuhnya Irak ke dalam konflik saudara yang berdarah-darah (justru sekarang terbukti bahwa keberadaan AS justru memicu konflik sektarian yang tak pernah terjadi sebelumnya).

Karena alasan-alasan tersebut dan didukung dengan ketiadaan bukti, sebuah lembaga think tank transatlantik terkemuka, British American Security Information Council (BASIC), dalam laporannya, menyimpulkan bahwa Iran hanyalah “kambing hitam” bagi kegagalan AS di Irak[].

Dan, tampaknya tidak hanya AS yang menjadikan Iran sebagai “kambing hitam” di Irak. Al-Qaida di Irak juga punya gawe yang nyaris sama. Pernyataan kebencian terhadap Iran yang dilontarkan petinggi-petinggi al-Qaida, seperti dikutip pada awal tulisan, tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa al-Qaida tidak mendapatkan sambutan dan popularitas dari publik Irak, bahkan dari milisi-milisi Sunni sekalipun.

Karakter al-Qaida yang nihilistik, misterius, dan berperang menghadapi musuh yang sumir jelas telah membuat banyak orang Irak “jijik” mendengar nama ini. Beberapa waktu lalu, para syekh Sunni di Propinsi Anbar mendeklarasikan perang melawan al-Qaida [[12]]. Tak lama kemudian, teror bom pun terjadi di Anbar, yang sebagian menewaskan para syekh itu. Ditambah lagi, sebagian besar operator al-Qaida adalah orang-orang non-Irak, yang ujug-ujug datang ke Irak dan mengklaim ingin membebaskan Irak dari AS, sementara justru sebagian besar korban mereka adalah Muslim Irak sendiri[].

Eureka! AS membutuhkan instabilitas, untuk menjustifikasi keberadaan mereka di Irak, sementara al-Qaida menyajikan berbagai menu instabilitas: kekerasan, konflik, dan perpecahan, dalam petualangan keji mereka. Bukankah kedua hal ini terlihat naif jika dipandang sebagai sebuah kebetulan belaka?

Hamas vs AS plus Al-Qaida di Palestina

Seperti ditulis sebelumnya, az-Zawahiri, pernah menyebut Hamas sebagai “pengkhianat Tuhan” karena memilih ikut dalam pemilu Palestina 2006. Selain itu, petinggi nomor dua al-Qaida itu juga menasehati Brigade al-Qassam, sayap militer Hamas, untuk kembali angkat senjata. Namun, Khaled Mishaal, Ketua Biro Politik Hamas, menegaskan bahwa Hamas tidak membutuhkan nasehat siapa pun, terutama al-Qaida, dalam menentukan jalan perjuangannya[[14]].

Jelaslah sudah, bahwa Hamas bukan al-Qaida, dan al-Qaida tak seujung kuku pun mirip dengan Hamas.

Namun, seperti halnya gaya propaganda AS dan sekutunya terhadap Iran, beberapa waktu lalu pemimpin Fatah, Mahmoud Abbas, tiba-tiba saja menuduh Hamas melindungi al-Qaida di Jalur Gaza. Para Abbastan pun kerap meracau bahwa Gaza kini adalah sarang para teroris al-Qaida.

Keberhasilan Hamas membebaskan Alan Johsnton, reporter BBC, dari tangan kelompok franchise al-Qaida, “Jays al-Islam” (tuntutan para penculik adalah pembebasan para tahanan al-Qaida di Inggris), hanyalah salah satu bukti bahwa Hamas menentang praktik-praktik ilegal gaya kaum “jihadis-nihilis”. Hamas tidak melakukan deal dengan para penculik Johnston. Sebaliknya, personil keamanan Hamas mengepung tempat dimana Johnston ditawan, membebaskannya, dan menahan beberapa pengikut Momtaz Deghmesh, pemimpin “Jays al-Islam”[].

Lalu apa yang diinginkan Abbas dengan tuduhan terhadap Hamas tersebut? Tidak terlalu sulit untuk mengatakan bahwa Abbas sedang menjalankan perannya sebagai proksi AS dan Israel guna “meng-iblis-isasi” Hamas dan Jalur Gaza lewat, sekali lagi, dagelan bernama al-Qaida. Dengan propaganda tersebut, AS berharap dunia bisa menerima jika Gaza diisolasi dari segala arah dan pasukan Zionis melumat wilayah kecil itu beserta para penghuninya. Bukankah mereka semua teroris?

Dan, al-Qaida—entah disadari atau tidak—sekali lagi punya peran sentral dalam rencana tersebut.

Al-Qaida memainkan peran kunci dalam kepentingan strategis kaum neokon AS, sebagian besarnya, karena al-Qaida berbeda dengan Hizbullah dan Hamas [[16]]. Pertama, al-Qaida dilahirkan dari rahim imperialisme. Pembentukan embrio al-Qaida terjadi melalui kolaborasi antara CIA (intelijen AS) dan ISI (Intelijen Pakistan) [], saat AS berupaya mengusir mendiang Soviet dari Afghanistan. Sedangkan Hizbullah lahir dari rahim perjuangan rakyat Lebanon mengusir Israel ketika invasi pasukan Zionis menyerang negeri itu pada 1982. Dan, Hamas pun lahir dari rahim intifada jilid II pada sekitar 1980-an. Kedua, Hizbullah dan Hamas sama-sama menghadapi musuh yang jelas, imperium Judea-Amerika, sementara al-Qaida, bak seekor banteng aduan yang gelap mata, menghantam dan menyerang siapa pun: memenggal para turis dalam rekaman video; memicu konflik sektarian; membom tempat-tempat ibadah dan membantai para peziarah. Ketiga, al-Qaida adalah hantu (atau mungkin lebih tepatnya sekumpulan pengecut) yang tak pernah nyata di hadapan umat, sementara Hamas dan Hizbullah hadir riil di tengah-tengah umat dengan serenteng aktivitas sosial-keumatan. Bagi Hamas dan Hizbullah, persatuan dan pembedayaan rakyat di negeri masing-masing adalah senjata paling ampuh dalam menghadapi imperialisme, sementara al-Qaida hanya peduli pada tiga kata: hancurkan, hancurkan, dan hancurkan.

Jika demikian, tampaknya al-Qaida layak menerima cinta dan kekaguman sejati (dan tentu saja rahasia) dari Bush dan para “bushes”. “Bravo” al-Qaida!




[1] http://news.yahoo.com/s/ap/20070708/ap_on_re_mi_ea/iraq_al_qaida_1

[2] http://www.cnn.com/2006/WORLD/meast/07/02/binladen.message/index.html

[3] http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A6581-2004Jun25.html

[4] http://www.newsroomamerica.com/usa/story.php?id=381876

[5] http://www.campaigniran.com/casmii/index.php?q=node/2543

[6] http://www.truthout.org/docs_2006/022507Z.shtml

[7] http://www.ynetnews.com/articles/0,7340,L-3396525,00.html

[8] http://vineyardsaker.blogspot.com/2007/07/imperial-senate-in-delusional-unanimity.html

[9] http://www.presstv.com/detail.aspx?id=16701&sectionid=351020201

[10] http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=6021

[11] http://www.basicint.org/pubs/Papers/iran03.pdf

[12] http://www.csmonitor.com/2007/0503/p01s04-wome.html

[13] Lihat laporan Human Rights Watch edisi Oktober 2005, Volume17, No. 9 (E)

[14] http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/4776578.stm

[15] http://weekly.ahram.org.eg/2007/853/re62.htm

[16] Analisis lebih lengkap tentang bagaimana al-Qaida memainkan peran kunci dalam rencana “perang global” AS, silakan rujuk makalah presentasi Profesor Michel Chossudovsky pada The International Citizens Inquiry into 9/11, di Toronto, pada 25-30 Mei 2004. [http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=6307]

[17] http://kurtnimmo.com/?p=919

Selasa, 25 November 2008

Ibnu Abdil Wahhab: Syi’ah Kafir karena menolak khilafah Abu bakar!


Setelah mengklaim bahwa Imam Ali as. tidak pernah memprotes pembaiatan atas Abu Bakar dan setelah mengatakan bahwa hadis Ghadir sama sekali tidak menujukkan hak kewailan Ali, sebab jika demikian pastilah Ali mengklaimnya… dan setelah mengatakan bahwa jika Ali meyakininya namun ia membiarkan haknya dirampas maka itu artinya kaum Syi’ah menuduh Ali sebagai pengecut, bahkan berkhianat … Setelah itu semua, Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb menuduh kaum Syi’ah telah menganggap para sahabat yang telah membaiat Abu Bakar sebagai orang-oarng fasiq, sementara itu yang membaiat Abu Bakar adalah para sahabat termasuk Ali dan Ahlulbait as., dan mereka itu (para sahabat) adalah sebaik-baik generasi, khaira ummatin yang dipersembahkan untuk umat manusia…. Dan dari itu semua ia menyimpulkan bahwa Syi’ah telah kafir, sebab mereka meyakini sesuatu yang menyalahi Al Qur’an dan hadis-hadis shahih tentang kekhalifahan Abu Bakar serta ijmâ’ para sahabat! Kemudian ia menyebutkan berbagai hadis yang dalam hematnya merupakan bukti nyata kekhalifahan Abu Bakar.

Demikianlah Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb membangun pandangannya.

Perhatikan apa yang ditulis Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dalam kaitan ini:

ومنها إنكارهم صحة خلافة الصدّيق رضي الله عنه، وإنكارها يستلزم تفسيق من بايعه واعتقد خلافته حقاً ، وقد بايعه الصحابة رضي الله عنهم حتى أهل البيت كعلي رضي الله عنه، وقد اعتقدها حقاً جمهور الأمة…

“Dan di antara kesesatan Syi’ah adalah mereka pengingkaran mereka atas kekhalifahan ash Shiddiq ra., dan pengingkaran mereka itu meniscayayakan menuduh fasiq mereka yang membaiatnya dan meyakini keabsahan khilafahnya. Dan para sahabat ra. telah membaiatnya, bahkan Ahlulbait seperti Ali ra. telah membaiatnya pula dan jumhur umat telah meyakini kebenarannya…..”

Kemudian ia mulai berhujjah bahwa menuduh para sahabat telah fasiq itu meyalahi ayat yang menegaskan bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi! Lalu bagaimana mereka itu dituduh telah merampas posisi paling agung dari Ahlulbait as. Hal demikian jelas-jelas meyalahi Kitab Allah. Kemudian ia menvonis dengan kata-katanya:

ومن إعتقد ما يخالف كتاب الله فقد كفر

“Dan barang siapa meyakini sesuatu yang menyalahi Kitab Allah maka ia telah kafir!”

Ibnu al Ja’fari berkata:

Pertama-tama perlu disadari bahwa menggunakan bahasa provokatif dalam menelaah masalah-masalah khilafiyah yang telah menjadi ajang perselisihan di antara ulama Islam tidak akan membawa manfa’at, sebab watak permasalahan tersebut tidak membutuhkan bahasa-bahasa seperti itu! Akan tetapi ia perlu dikaji dengan pikiran jernih dan dengan mengedepankan bukti-bukti otentik serta dalil-dalil yang memenuhi standar ilmiah.

Masalah Khilafah Adalah Bagian Dari Furû’uddîn

Sesuatu yang penting dihadirkan dalam setiap diskusi-diskusi seputar masalah Khilafah ialah bahwa dalam pandangan para teoloq Ahlusunnah telah disepakati bahwa masalah Khilafah adalah termasuk bagain Furû’uddin, ia bukan bagian Ushûluddîn yang harus diyakini oleh setiap Muslim!

Jadi, semestinya tidak perlu ada hiruk-pikuk di seputar masalah ini, apakah kelompok A atau B meyakini keabsahan kekhalifahan Abu Bakar atau kekhalifahan Yazid atau kekhalifahan Umar ibn Abdul Aziz atau kekhalifahan Harun ar Rasyîd atau kekhalifahan Sultan Hamid, dll atau tidak meyakininya!

Masalah Khilafah sama sekali bukan masalah serius dan urgen dalam hemat para ulama Ahlusunnah, sehingga harus dikategorikan masalah Ushûddîn/sendi-sendi agama yang pokok. Lalu mengapa dalam praktiknya mereka mempolitisir masalah ini sedemikian rupa sehingga dijadikan senjata pengkafiran?!

Bagi Anda yang sedikit gemar menelaah buku-buku Teoloqi Sunni pasti mengenal dengan baik sikap para ulama Ahlusunnah dalam masalah ini.

Di bawah ini saya bantu Anda untuk menulusurinya.

Al Ghazali berkata, “Ketahuilah, bahwa meneliti masalah Imamah bukanlah hal penting dan bukan permasalahan aqliah, ia adalah masalah fiqhiyah…”.[1]

Al Amidi berkata, “Ketahuilah bahwa persoalan imamah bukanlah termasuk Ushûluddîn, dan bukan pula perkara yang keharusan di mana seorang mukallaf tidak dibenarkan berpaling darinya dan tidak mengerti tentangnya… .“[2]

At Taftazâni berkata, “Imamah bukan termasuk Ushûluddîn dan masalah akidah, berbeda dengan Syi’ah. Akan tetapi ia menurut kita (Ahlusunnah) termasuk furû’ yang terkait dengan tindakan para mukallaf, sebab pengangkatan imamah menurut kami (Ahlusunnah) wajib atas umat berdasarkan dalil nagli… .”[3]

Ibnu Ruzbahân mengatakan dalam bantahannya terhadap Allamah al Hilli ra., ”Ketahuilah bahwa Imamah menurut kelompok al Asy’ariyah bukan termasuk Ushuludiyanât dan dasar akidah, akan tetapi ia menurut mereka adalah termasuk furû’ yang berkaitan dengan tindakan kaum mukallaf.”[4]

Jadi di sini Anda berhak terheran-heran dari sikap sebagian kalangan yang menjadikan keyakinan akan keabsahan kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman sebagai penentu keimanan dan keislaman seorang atau sebuah komunitas! Hal itu bisa jadi dipicu oleh kejahilan mereka akan prinsip-prinsip dasar Mazhab Ahlusunnah sendiri. Atau jangan-jangan karena ada pesan sponsor!

Selain itu, data-data sejarah telah cukup membuktikan bahwa di antara para sahabat Nabi saw. tidak sedikit yang menentang kekahilfahan Abu Bakar dan tidak mengakui hasil pembaiatan yang berlangsung di pendopo, Saqifah bani Sâ’idah itu!

Seperti telah Anda baca bersama bagaimana Imam Ali as. menolak memberikan baiat dan mengakui hasil pembaiatan atas Abu Bakar! Demikian juga, dengan keluarga besar bani Hasyim dan para pengikut setia Imam Ali as. selama enam bulan[5], kendati pada akhirnya beliau berdamai dan memberikan baiat untuk Abu Bakar.

Akan tetapi sejarah mencatat bahwa di antara para sahabat Nabi saw. ada yang hingga wafat menjemputnya tetap bersikeras menolak untuk mengakui kekhalifahan Abu Bakar, seperti Sa’ad ibn Ubadah –pemimpin suku Khazraj-, seperti diakui oleh Ibnu Taimiyyah –panutan utama kaum Wahhabi- dalam Minhâj as Sunnah-nya[6]dan putra-putranya, dan putri tercinta Rasulullah saw.; sayyidatuna Fatimah az Zahrâ’ as….

Lalu apakah kita akan mengatakan bahwa putri tercinta Rasulullah saw. telah kafir dikarenakan tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar?! Lalu apakah Sa’ad ibn Ubadah divonis kafir kerena menentang kekhalifahan Abu Bakar dan Umar?!

Sepertinya kita perlu bersikap arif dan berhati-hati dalam melontarkan vonis-vonis berbahaya seperti itu!

Tidak Ada Ijmâ’ Dalam Pengangkatan Abu Bakar!

Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb berusaha mengatakan –walaupun harus mengabaikan data-data akurat sejarah- bahwa pembaiatan atas Abu Bakar telah meraih suara bulat dan ijmâ’ dari para sahabat!

Akan tetapi riwayat-riwayat para muhaddis Ahlusunnah, khususnya Bukhari dan Muslim telah membohongkan anggapan tersebut. Sebab terbukti bahwa Imam Ali as. dan banyak sabahat lainnya yang menentangnya dan tidak sudi memberikan baiat mereka untuk Abu Bakar!

Memang tidak sedikit mereka yang berusaha mengangkat ijmâ’sebagai bukti keabsahan kekhalifaha Abu Bakar, akan tetapi ijmâ’ fiktif tersebut tidak pernah terjadi, yang terjadi justru sebaliknya. Seperti sudah dan akan saya buktikan pada lembaran-lembaran akan datang insyaallah.

Ketika menegakkan bukti keabsahan Khilafah Abu Bakar, al Qusyji mewakili pandangan Ahlusunnah mengatakan demikian, “Al Maqshad Keempat tentang Imam (Khalifah) yang haq sepeninggal Rasulullah saw.. menurut kami (Ahlusunnah) adalah Abu Bakar, sedangkan menurut Syi’ah adalah Ali ra.

Dalil kami adalah dua:

Pertama: Cara penunjukan seorang Imam (Khalifah) bisa dengan nash (penunjuan langsung) bisa dengan ijmâ’. Adapun nash sama sekali tidak ada,[7] seperti akan dijelaskan nanti, sedangankan ijmâ’ tidak terjadi untuk selain Abu Bakar secara aklamasi.

Kedua: Ijmâ’ terjadi atas kebenaran salah satu dari tiga calon, Abu Bakar, Ali atau Abbas, kemudian mereka berdua tidak menentang Abu Bakar, andai ia tidak berada di atas kebenaran pastilah keduanya menentangnya… [8]

Akan tetapi klaim terjadinya Ijmâ’ sama sekali tidak mampu mereka buktikan, oleh karena itu mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ijmâ’atas Khilafah Abu Bakar tidak berarti seluruh sahabat bersepakat atasnya, akan tetapi yang dimaksud dengannya ialah bahwa Khilafah Abu Bakar sah dengan pembaiatan segelintir rekan-rekan Abu Bakar sendiri, bahkan ada yang mengatakan dengan hanya baiat yang diberikan Umar seorang!

Dari sini dapat dimengerti mengapa para Teoloq Ahlusunnah tidak mensyaratkan ijmâ’ dalam keabsahan kekhalifahan seorang. Dalam pembahasan, maqshad ketiga, Qadhi al Îji mengatakan, “Al Maqshad ketiga, tentang sistem yang dengannya kekhalifahan sah. Ia dapat sah dengan nash (penunjukan) oleh Rasulullah saw. atau Khalifah sebelumnya berdasarkan ijmâ’, dan juga dengan baiat oleh Ahlul Halli wa Al ‘Aqdi, berbeda dengan pendapat Syi’ah…

Maka jika telah terbukti Khilafah dapat ditegakkan dengan pemilihan dan baiat maka ketahuilah bahwa pemilihan dan baiat itu tidak membutuhkan ijmâ’/kesepakatan seluruh mereka, sebab tidak ada dalil yang menunjukan akan hal itu, baik dalil aqli maupun naqli. Bahkan para sahabat mencukupkan dengan baiat seorang atau dua orang saja dari anggota Ahlul Halli wa Al ‘Aqdiseperti penetapan hak kekhalifahan Abu Bakar oleh Umar .“[9]

Jadi, dimanakah dapat kita temukan adanya ijmâ’ yang mereka klaim tersebut?!

Memang aneh anggapan mereka yang mangatakan bahwa urusan pengangkatan seorang Khalifah diserahkan kepada umat, kemudian mereka mempersempit pengertian umat hanya dengan Ahlul Halli wa Al ‘Aqdi saja (tentunya dengan berbagai kerancuan yang terdapat di dalamnya), kemudian mereka makin menyederhakannya dengan mengatakan bahwa baiat yang diberikan oleh seorang saja dari anggota Ahlul Halli wa Al ‘Aqdi sudah cukup melegalitas kekhalifahan seorang! Seperti yang terjadi pada kasus pengangkatan Abu Bakar oleh Umar seorang!

Lalu bagaimana sekarang mereka mewajibkan atas seluruh umat Islam untuk meyakini kekhalifahan seorang yang tidak pernah ditunjuk oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak juga disepakati oleh umat Islam… semua itu hanya karena ia (sang Khalifah itu) telah sah dengan dasar baiat yang diberikan oleh satu atau dua orang saja! Subhanallah! Renungkan poin ini baik-baik!!


[1] Al Mawaqif :395 .

[2] Ghayah al Maram Fi ‘Ilmi al- Kalam :363.

[3] Syarh al Mawaqif,8\344 .

[4] Ibthâl Nahjil Bathil (Lihat Dalâ’il ash Shidq, 2\8) .

[5] Târikh ath Thabari,3/208 dan al Kâmil fi at Târikh,2,331.

[6] Minhâj as Sunnah,4/121.

[7] Penegasan di atas penting untuk selalu diingat!

[8] Al Mawâqif Fi Ilmi al Kalâm; Qadhi ‘Adhududdîn Abdurahman ibn Ahmad al Îji:400. cet. ‘Alamul Kotob, Bairut.

[9]Ibid.