Senin, 08 September 2008

Lidah Aoun, “Lidah Islam”

Michel Aoun adalah legenda militer Lebanon yang relatif independen. Aoun tak pernah beraliansi dengan kubu mana pun sepanjang karirnya. Senyampang bertempur melawan pasukan Suriah di era 70-an, Aoun juga bersitegang dengan sekutu Amerika/Israel. Netralitas Aoun membuatnya terpental dari politik Lebanon yang sangat bergantung pada patron. Akibatnya, sejumlah pion berkomplot mendepaknya. Tak kurang dari 18 tahun dia harus hidup di Paris sebagai buangan. Pada tahun 2005 dia balik ke Lebanon layaknya macan yang terluka.


Aoun tak perlu banyak berkeringat untuk mengumpulkan kembali para pendukungnya. Basis massanya justru tumbuh pesat saat dia terasing. Popularitasnya di tengah kalangan Kristen terdidik datang dari sikap-sikapnya yang selalu berpihak pada bangsa dan negara—sesuatu yang sama sekali asing bagi sebagian besar politisi Lebanon yang selalu menjadi bidak pihak asing.

Tanggal 7 Agustus kemarin, Aoun maju ke podium parlemen Lebanon dan melontarkan tanggapan fraksinya terhadap pemerintahan baru Lebanon. Suaranya lantang. Berapi-api. Beberapa kali dia kehabisan suara. Tapi usia jenderal yang hampir menyundul kepala tujuh itu sama sekali tak terlihat.

Tanggapan Fraksi Patriot Merdeka yang dia baca hari itu merisaukan banyak orang. Para anggota parlemen yang tak lebih dari bidak-bidak percaturan politik regional dan global bertubi-tubi menghujani Aoun dengan interupsi. Perilaku yang hanya mempertegas posisi mereka sebagai bidak kekuatan asing.

Dalam tanggapan itu, Aoun mengecam negara-negara kaya Arab yang tak pernah mau peduli dengan konflik Arab-Israel. “Tak sekalipun kalian menyingsingkan lengan baju untuk meringankan derita rakyat yang tertindas di Lebanon dan Palestina,” serunya setengah berteriak.

Dia memaki kemunafikan para pemimpin Arab yang siang malam berbicara tentang potensi ancaman Iran, tapi lupa dengan clear and present danger bernama Israel. Menurutnya, pimpinan Arab itu telah kehilangan moral, mengalami disorientasi, picik dan bermufakat jahat dengan kaum imperialis global.

Setelah menghela nafas panjang, Aoun melontarkan sederet pertanyaan ini: “Mengapa kalian bermesraan dengan para pemimpin dunia yang ikut menyengsarakan bangsa-bangsa Arab? Mengapa kalian tak segan bergandeng tangan dengan pendukung utama Israel? Mengapa ada sekitar 12 juta orang Asia yang bekerja di jazirah Arab, sementara kalian telantarkan beberapa juta rakyat Palestina di kamp-kamp pengungsian Lebanon dalam keadaan mengenaskan? Mengapa Kerajaan Arab Saudi yang mengaku sebagai tulang punggung Arab (dan umat Islam) tak mau melepaskan diri dari hegemoni AS? Bukankah Arab Saudi yang secara konsisten merawat dan menggelembungkan bola salju hegemoni AS di kawasan ini?”

Aoun menyebut Arab Saudi sebagai negara Arab dan Islam yang paling banyak memanipulasi isu Palestina, tapi tidak sekali pun menyumbang perlawanan rakyatnya guna merebut hak-haknya yang hilang. Aoun juga mendamprat raja-raja Arab yang dengan mudah mendukung gerakan-gerakan Islam ekstremis yang hanya bisa mengobarkan perang saudara, konflik sektarian dan teror sipil di kawasan Timur Tengah.

“Jadi apa sebenarnya proyek politik kalian di kasawan ini. Apakah kalian memang ingin mengobarkan perang di antara sesama Arab dan Islam demi memelihara alat penjajahan bernama Israel?” Tanya Aoun dengan suara keras.

Sebelum mengakhiri tanggapan fraksinya, Aoun memuji Hizbullah sebagai gerakan Islam dan Arab yang berhasil membangun kesadaran akan identitas sejati bangsa Arab. “Inilah gerakan perlawanan populer yang mempunyai orientasi, strategi dan taktik untuk mengembalikan bangsa Arab pada akar-akar sejarahnya. Gerakan perlawanan ini berhasil membangunkan bangsa kita dari gelapnya mental kalah yang tertanam sejak tahun 1967 akibat kemenangan telak Israel menundukkan 5 negara Arab dalam 6 hari.”

Mungkin kita berpikir bahwa Aoun ingin membalas jasa Hizbullah yang telah membelanya melawan musuh-musuh politiknya dari kalangan Kristen. Mungkin saja dia sedang melampiaskan dendam politiknya pada kalangan Arab yang terlibat mendepaknya. Tapi ada kemungkinan lain yang jauh lebih kuat: Aoun berbicara tentang realitas. Dia berbicara tentang disorientasi, kontradiksi dan kekacauan pilihan politik pimpinan Arab saat ini.

Lebih dari itu, Aoun sebenarnya menangkap realitas yang lebih dalam. Dia melihat di tengah bangsa Arab yang mayoritas beragama Islam itu ada dua model gerakan. Pertama, gerakan Islam yang sama sekali tak punya orientasi dan landasan moral. Aoun tak pernah segan menuding gerakan Islam salafi/wahabi yang disponsori oleh Arab Saudi dan negara-negara Teluk sebagai gerakan yang tak punya tujuan kecuali meniupkan api konflik di dalam masyarakat. Entah api konflik itu membakar tubuh umat Islam sendiri atau menyambar komponen-komponen bangsa lain. Yang jelas, bagi Aoun dan banyak lagi nasionalis Kristen Arab, gerakan Islam model ini tak lebih dari bola api liar.

Kedua, gerakan Islam yang memiliki fokus perlawanan yang jelas, ideologi yang rasional dan strategi yang terukur. Inilah gerakan Islam model Hizbullah. Di mata Aoun dan banyak nasionalis Arab lain, Hizbullah adalah gerakan Islam yang memiliki ideologi terbuka (siap beraliansi dengan penganut agama mana pun), musuh yang jelas (rezim AS dan Israel), strategi perlawanan yang terukur. Khusus menyangkut strategi, misalnya, kita dapat dengan mudah melihat bagaimana Hizbullah tak pernah sudi terlibat konflik internal dengan pihak mana pun di Lebanon. Sebaliknya, gerakan Islam salafi model Fath al-Islam justru menyerang dan menggorok puluhan tentara Lebanon di barak militer Nahr Bared. Padahal, tentara nasional Lebanon adalah simbol persatuan bangsa yang sedang tercabik-cabik itu.

Jelas semua orang waras bakal bertanya-tanya: Untuk apa aksi seperti itu? Bukankah di antara korban itu ada pula yang beragama Islam? Bahkan sekiranya semua itu non-Muslim, apa salah mereka? Mengapa Fath al-Islam tidak langsung saja menyerang tentara Israel yang berada beberapa kilometer dari tempat kejadian?

Itulah sederet pertanyaan yang tak pernah bisa menemukan jawaban di kepala Aoun dan nasionalis Kristen Arab lain. Dan jika kita renungkan sejenak, pertanyaan-pertanyaan itu bukan ada di kepala orang Kristen semata. Semua orang Muslim berakal juga punya pertanyaan-pertanyaan serupa terhadap strategi dan aksi gerakan Islam salafi/wahabi di dunia Islam. Tentu kita tak perlu lagi mengulang segala teori konspirasi di balik peristiwa 11 September yang dibanggakan oleh gerakan-gerakan beraliran Islam salafi/wahabi.

Sebagai Muslim, kita justru harus lebih dalam merenung: Mengapa di dunia Islam ada gerakan model Hizbullah yang mudah mendulang simpati kalangan agama mana pun di dunia ini, dan ada gerakan Al-Qaidah, Fath Al-Islam dan Jund al-Sham yang dikecam oleh hampir semua orang—tak terkecuali umat Islam di luar lingkaran kecil wahabi?

Apakah kita patut menyangka bahwa Hizbullah adalah gerakan Islam yang telah terpengaruh oleh unsur-unsur di luar Islam, atau ia justru merupakan gerakan moral yang sejalan dengan fitrah dan nurani semua manusia?

Mengapa Hizbullah bisa mempunyai tafsir Islam yang lunak, tapi tidak tunduk pada penjajahan? Mengapa Hizbullah bisa berkompromi, tapi tidak hanyut dalam “nikmatnya” ketundukan? Mengapa tafsir Islam Hizbullah itu demikian manusiawi dan sesuai dengan logika kewajaran, tapi juga matang dalam strategi dan organisasi?

Mengapa ada rezim yang memiliki bendera bertuliskan La ilaha illallah, tapi bertumpu pada kekuasaan raja yang secara mutlak ditolak oleh Nabi? Mengapa lantas raja dalam rezim itu tak pernah malu mengibarkan benderanya berdampingan dengan bendera negara yang secara terang-terangan menindas umat Islam?

Mengapa ada sejumlah ulama di Arab Saudi yang berfatwa mengharamkan umat Islam untuk berdoa demi kemenangan Hizbullah yang berperang melawan Israel? Mengapa ada perbedaan begitu nyata antara kedua tafsir Islam ini?

Hizbullah adalah gerakan yang berpijak pada Islam yang wajar, Islam yang sejalan dengan fitrah dan nurani semua orang. Ia tidak mengada-ada, merekayasa isu, menganggap seluruh manusia yang berbeda sebagai ancaman dan menyebar fitnah demi kemenangan sesaat.

Michel Aoun memang bukan orang Islam. Tapi lidahnya berbicara tentang realitas yang sudah seharusnya menjadi lidah semua orang Islam.

Tidak ada komentar: