Jumat, 05 September 2008

Mengharamkan Rokok Tanpa Fatwa

Meski tergolong isu lama, namun debat soal hukum (me)rokok kembali menyeruak. Berawal dari keluhan Kak Seto yang datang ke kantor MUI pertengahan Agustus lalu, agenda pembahasan soal fatwa haram merokok akhirnya bergulir. Menteri agama pun mengamini. Jika tak ada halangan, pembahasan serius tentang fatwa merokok itu dilaksanakan selepas Ramadan.

Sebagai ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), wajar Kak Seto geram dan khawatir terhadap fenomena meningkatnya jumlah anak Indonesia yang memiliki kebiasaan merokok belakangan ini. Betapa tidak, menurut catatan KPAI, selama lima tahun terakhir, jumlah anak Indonesia yang merokok pada usia empat hingga sembilan tahun meningkat sembilan kali lipat, yakni dari 0,4 persen pada 2003 menjadi 3,6 persen pada 2008. Jika jumlah anak pada rentang usia tersebut saat ini 20 juta jiwa, sedikitnya ada 720 ribu anak Indonesia berusia di bawah 10 tahun yang merokok.

Belum juga fatwa dikeluarkan, penolakan terhadap fatwa haram untuk rokok pun mulai membahana. Pengusaha, karyawan pabrik, serta petani tembakau protes dan menolak rencana pemberlakuan fatwa itu. Beberapa tokoh dan ulama pun menyarankan agar MUI ekstracermat dalam memfatwakan rokok tersebut. Sebab, persoalannya akan panjang dan berdampak sangat besar.

Jika rokok diharamkan, banyak orang berpendapat konsumsi rokok akan menurun drastis dan pabrik rokok pun gulung tikar. Kebangkrutan pabrik rokok akan menyebabkan PHK dan pengangguran yang berujung pada munculnya berbagai persoalan sosial. Lebih dari itu, kalau rokok itu haram, petani tembakau dan bekerja di pabrik rokok pun menjadi haram. Lantas, bagaimana nasib mereka? Karena itu, pengharaman rokok secara tiba-tiba sudah barang tentu bukanlah hal sepele. Diperlukan kearifan dalam menyikapi persoalan tersebut.

Jika ditilik lebih jauh, kegeraman Kak Seto dan kemunculan ide fatwa haram untuk rokok tersebut berawal dari kegagalan sistem sosial dan hukum (baca: negara) kita dalam mengendalikan peningkatan jumlah perokok. Persoalan yang sebenarnya bukan hanya monopoli milik bangsa Indonesia, melainkan juga di sebagian besar negara sedang berkembang (developing countries), termasuk India dan Tiongkok. Sementara di negara-negara maju konsumsi rokok cenderung menurun, jumlah konsumen rokok di negara sedang berkembang terus mengalami peningkatan (FAO, 2005).

Dari sisi asupan, konsumsi tembakau di negara berkembang pada 2010 diperkirakan meningkat 1,7 persen per tahun menjadi 5,09 juta ton dari 4,2 juta ton pada 1999. Selain peningkatan pendapatan masyarakat, longgarnya aturan serta rendahnya pajak rokok ditengarai menjadi penyebab pergeseran konsumsi rokok dari negara maju ke negara sedang berkembang ini. Di sinilah sebenarnya letak akar permasalahan yang kita hadapi.

Keberhasilan negara maju dalam mengurangi jumlah konsumsi rokok di negaranya tidak terlepas dari campur tangan pemerintah. Ketatnya aturan, tingginya pajak, dan kepedulian pemerintah dalam membantu perokok untuk berhenti merokok telah terbukti berhasil.

Mereka (baca: negara maju) tak pernah mengenal fatwa. Tapi, harga rokok sangat mahal (misalnya, sebungkus rokok isi 20 batang di Australia berharga tak kurang dari Rp 80.000). Larangan merokok terpampang di mana-mana. Iklan rokok tak pernah tampak di penjuru mana pun, tak ada di baliho, tak ada di spanduk, apalagi di radio atau di layar kaca. Bahkan, penjual rokok, selain didenda jika menjual rokok kepada anak di bawah 18 tahun, hanya diperbolehkan memperlihatkan rokok tak lebih dari 0,5 m2 di tokonya. Selain itu, pemerintah menyediakan ''Quit Line'', sebuah layanan berhenti merokok yang dibiayai dari hasil pajak (cukai) rokok. Karena itu, tak heran jika akhirnya jumlah perokok pun kian hari kian turun.

Sementara di negara kita, meski aturannya sudah ada, upaya mengendalikan dan mengurangi jumlah perokok belum tampak serius. Meminjam istilah Taufik Ismail, pemerintah masih membiarkan ''benda sembilan centi'' itu dituhankan. Perusahaan rokok masih bebas membujuk kita dan anak-anak kita untuk merokok. Bahkan, mereka sengaja memakai ''kendaraan yang disuka kawula muda'' seperti konser musik dan tontonan olahraga sebagai alat propaganda mereka. Bagi pengusaha, semakin dini anak-anak kita merokok, keuntungan yang mereka dapatkan akan semakin panjang. Mereka tak mau tahu akan ke mana anak bangsa ini nanti. Lantas, mengapa kita tidak serius mulai sekarang?

2 komentar:

jahdup mengatakan...

wew...... puanjang banget neh tulisannya... jadi bikin ane males untuk membacanya.. yah kalo ntar² aja deh bacanya..... cuman mau berkunjung aja neh diblognya.
sukses ya mad blognya....hehe

jahdup mengatakan...

ngalih pang nah mun kd baroko....
jer palui berkata : beroko mati. kd beroko mati. jadi ente milih yang mana mas ???